Steven berdecak. "Kenapa kamu masih bertanya? Kamu tahu aborsi 'kan? Kenapa nggak kamu gugurkan saja bayi itu dan semua selesai. Kamu aman, dan aku nggak membutuhkan anak itu."

Aku mendongak, air mata tidak bisa aku bendung lagi dan mengalir di kedua pipiku. "Apa kamu sejahat itu? Dia anakmu juga, darah daging—"

"Persetan dengan anakku. Ku bilang gugurkan saja anak itu!" bentakknya. Steven melangkah, membuka bathrobe di depanku. Tubuh polos yang biasanya membuat aku gugup dan malu. Mendadak terlihat menyesakkan hati.

Entah berapa lama aku diam dengan isak tangisku, Steven sudah berdiri di depanku dengan pakaian rapi siap untuk pergi ke kantor.

"Ambil ini, pergi ke rumah sakit dan gugurkan bayi itu." Ujar Steven, Menyimpan paksa uang di telapak tanganku.

Aku masih diam, hatiku semakin mencelos nyeri. Rasanya sangat menyakitkan, bahkan aku tidak tahu bagaimana mengontrol perasaan ini. Menggertakan gigi, aku membalikkan tubuhku dan berbicara. "Saya nggak akan menggugurkan bayi ini."

Steven yang sudah berada diambang pintu diam. Tanpa menatap ke arahku, dia membalas. "Aku nggak peduli. Yang pasti, jangan meminta aku tanggung jawab. Aku nggak akan pernah menikahimu, sekalipun kamu datang memohon dan sujud ditelapak kakiku. Pergi dari rumahku, aku sudah tidak membutuhkanmu lagi. Baik menjadi pemuas nafsuku atau sebagai housekeeper."

**

Bugh!

"Akh," aku memekik sakit ketika sesuatu menghantam dahiku cukup keras.

"Mama!" suara cempreng itu terdengar kesal. Telingaku berdenging mendadak.

Aku membuka mataku yang terasa berat, terkejut ketika melihat wajah gadis kecil di atas wajahku. Aku menghela napas. Mimpi sialan itu lagi.

"Ma! Bangun! Fani lapar," rengeknya, mengguncang bahuku.

Aku meringis, bangkit dari tidurku. Tersenyum melihat Fani memasang wajah kesal yang menggemaskan. "Maafkan Mama, Sayang. Mama kesiangan ya?" tanyaku, mengecup pipinya.

Fani menggeleng. "Tidak, Ma. Ini masih pagi. Tapi Fani Tidak bisa tidur lagi, Fani lapar." rengeknya.

Aku terkekeh, memeluknya gemas. "Oke-oke. Mama akan buatkan kamu sarapan. Ayok bantu Mama di dapur."

Fani langsung memasang wajah ceria. "Yeay!" teriakknya, senang.

Aku terkekeh, beranjak dari atas tempat tidur. Melangkah mengikuti Fani yang sudah berlari lebih dulu. Menatap punggung kecil di depan mataku, senyumku luntur perlahan. Mimpi buruk itu masih terus menghantuiku.

Sudah 5 tahun berlalu, tapi kenangan menyakitkan itu masih saja datang sesekali. Aku menggeleng. Tidak, untuk apa aku masih mengingat kenangan buruk itu. Walau datang tanpa di undang di dalam mimpi atau pikiran, seharusnya aku abaikan saja.

Karena sekarang, aku sudah bahagia dengan pilihanku. Mempertahankan janin yang siapa sangka menjadi gadis kecil yang sangat cantik. Seluruh wajahnya hampir mirip dengan pria itu. Tapi aku tidak peduli, karena Fani sepenuhnya putriku meski tidak diinginkan oleh pria itu.

5 tahun menjadi single mom tidak membuatku mati. Justru aku semakin semangat, apa lagi saat aku tahu. Bahwa aku hidup bukan untuk diri sendiri, tapi juga untuk putri tercintaku.
Aku sudah membuktikan, aku mampu mempertahankan sesuatu yang sempat ingin kubuang karena putus asa. Di atas kerasnya hidup, tapi sekarang sudah menjadi poros dan napas hidupku. Walau aku harus memperjuangkan segalanya.

 Walau aku harus memperjuangkan segalanya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Mantan Housekeeper Bos! (Housekeeper Series)Where stories live. Discover now