Steven masih diam. Sampai akhirnya dia menatapku. "Kamu apa, kamu hamil?" ulangnya.

Aku mengangguk. "Iya, Mas."

Steven menegang. "What the fuck! Kamu bercanda 'kan, Re?"

Aku menahan napasku, ketakutan semakin membesar melihat respons tidak percaya Steven. Aku menggeleng. "Saya serius, Mas," Ucapku, memberi jeda diakhir kalimat.

Bangkit dari atas tempat tidur, aku mengambil selembar kertas yang diberikan pihak rumah sakit di dalam tas. Membuang napas perlahan, aku membalikkan tubuh. Mendekati Steven yang setiap gerakan matanya tertuju ke arahku.

"Apa ini?" tanya Steven saat aku menyodorkan kertas ke arahnya.

"Surat keterangan bahwa saya benar hamil, Mas."

Steven menatap kertas itu, lalu mendongak menatapku. Bangkit dari atas kasur, Steven berdiri di hadapanku. Aku tidak tahu bagaimana perasaan Steven mendengar ini. Sekalipun dia masih tidak siap memiliki anak. Tapi, di dalam hatiku yang paling dalam. Aku berharap Steven mau menerima anak ini. Karena janin ini darah dagingnya sendiri.

Aku masih ingat kalimatnya ketika pertama kalinya kami melakukan itu. Memberikan kehormatanku kepada Steven. Steven mengatakan akan selalu ada di sisiku apa pun yang terjadi. Bahkan satu tahun bekerja dengan Steven, Aku selalu diperlakukan istimewa.
Saat tangan Steven terangkat meraih kertas yang masih terulur di satu tanganku. Aku berdebar, sudut bibirku terangkat saking senangnya. Tapi, hal yang terjadi selanjutnya membuat aku diam dan kembali menahan napas.

Steven merobek kertas itu lalu melemparkannya ke wajahku.

"Kamu bercanda? Jika benar kamu hamil, apa hubungannya denganku?" tanyanya, nada  suaranya mendadak berubah dingin.

Aku diam, suara dingin dan asing itu langsung menusuk relung hatiku. "Ka—karena janin yang saya kandung adalah anak kamu, Mas."

Steven berdecih, wajah yang biasanya menampilkan ekspresi lembut mendadak menjadi datar dan mengerikan. "Lalu? Mau kamu apa? Aku nikahi? Jangan bermimpi."

Aku mematung, detak jantungku berhenti sepersekian detik. "A—apa maksudnya, Mas? Bukannya Mas berjanji, bahwa akan selalu ada bersama saya apa pun yang terjadi?"

Steven tersenyum geli mendengar kalimatku barusan. "Kamu percaya?"

"Apa?"

Steven tertawa sumbang. "Apa kamu pikir aku serius mengatakan itu?"

Aku terkejut. "Ma—maksud Mas apa?"

Steven tersenyum miring, lalu melangkah mendekatiku. "Aku tahu kamu nggak bodoh, Re. Aku tahu kamu tumbuh di lingkungan orang yang nggak baik. Ibu mu seorang pelacur dan Ayah mu mati karena hutang judinya. Meski begitu, saat aku melakukan itu kepadamu, kamu memang masih perawan. Sayangnya, aku hanya memanfaatkan itu."

Tubuhku gemetaran. "Maksud—"

"Maksudku, aku nggak serius mengatakan bahwa aku akan selalu ada bersamamu apa pun yang terjadi. Kamu hamil, lalu apa? Ingin aku nikahi? Re, kita melakukannya suka sama suka 'kan? Lalu apa yang harus aku pertanggung jawabkan? Seharusnya, kamu bisa berpikir. Bahwa kita melakukan itu hanya nafsu, nggak lebih. Sekalipun kamu memiliki perasaan kepadaku, harusnya kamu tahu kenyataan. Kenyataan bahwa aku dan kamu, ada di dunia yang berbeda. Kamu, hanya seorang pembantu dan aku majikannya."
Aku mematung, sel-sel di dalam tubuhku mendadak lumpuh mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulut Steven.

"La—lalu saya harus ba—bagaimana, Mas. Saya sedang hamil." Aku terbata, air mata sudah berkumpul di kelopak. Mereka seolah berlomba-lomba untuk segera keluar.

Mantan Housekeeper Bos! (Housekeeper Series)Where stories live. Discover now