Epilog

4.3K 432 13
                                    

9 tahun kemudian

Benar kata orang, tidak ada yang namanya happily ever after di dunia ini. Fiona meletakkan fotonya dan Aksa yang setia bertahan di sisi mejanya selama 9 tahun ini. Gadis itu memutar kursinya, menghadap kaca besar yang langsung menampakkan pemandangan Kota Paris di malam hari. Butiran salju mulai turun, menambah kesan magis dari kota yang dijuluki "Town of Love" ini.

9 tahun sudah, ia meninggalkan semuanya di Indonesia. Tak pernah kembali, hanya menunggu kedua orangtuanya yang datang mengunjunginya. Yang belakangan ini sedikit melupakannya, karena kehadiran cucu ke-2 mereka. Setidaknya Bang Nuga benar-benar memberi kebahagiaan kepada orangtuanya.

"Kau harus benar-benar keluar, Fi."

Suara beraksen italia itu sedikit patah-patah mengucapkan bahasa Perancisnya, Fiona terkekeh menerima uluran coklat panas yang diberikan John padanya. Gadis itu melirik Carol, yang sudah berjalan mendekat ke arahnya bergabung untuk menikmati rehat mereka.

"Herannya, kita sudah mengambil pesanan khusus dari kalangan elit saja. Tapi kenapa, aku masih kerepotan mengurusnya."Carol mengerucutkan bibirnya, menunjuk manequin di sebelah mejanya yang baru menampilkan baju pengantin setengah jadi. "Seharusnya kita bersantai, menikmati hasil kerja keras kita selama bertahun-tahun Fi."

"Karena kau lebih sering menerima pesanan dari penyanyi terkenal yang menyebalkan itu. Bukan seperti aku dan Fi, yang memilah kliennya dengan cermat." John mencibir, hingga membuat Fiona mulai geleng-geleng kepala akan pertengkaran 2 asistennya itu.

"Kalau perlu diingatkan, kau pernah merobek gaun pesanan klien kita. Hanya karena klien kita itu, bersikap genit pada kekasih gay mu. Jadi kau yang tidak profesional disini."Ucap Carol tersenyum penuh kemenangan.

"Jangan bawa-bawa orientasi ku disini." John memandang sebal Carol, lantas beralih ke Fiona yang hanya mengangkat bahu.

"Kau tau benar, aku tidak membela orang yang sepertimu dalam mencari pasangan John."Fi, meletakkan cangkirnya lantas mengambil mantel. "Aku pulang duluan, apabila perwakilan dari keluarga kerajaan datang. Berikan padanya, Gaun sang calon 'Putri' dan katakan aku akan menghampirinya besok pagi untuk memperbaiki gaunnya apabila ada yang kurang."

"Oh my god, jangan bercanda Fi." John menutup mulutnya menatap Fiona tak percaya. "Kau mengabaikan klien terpentingmu? Jangan lupa karena adiknya dulu memesan gaun pada kita, brand kita mendunia sekarang."

"Aku tidak mengabaikannya." Fiona menunjuk jam kecil di mejanya. "Dia yang melewatkan waktu pertemuan."

"Tapi-"

Sebelum Carol ataupun John berkata apapun lagi, Fiona buru-buru keluar dari ruang kerjanya. Bergegas kembali ke apartemennya, mengabaikan David yang merupakan orang yang mengatur keperluan bisnis brandnya di seluruh dunia. Ia hanya ingin beristirahat sekarang.

******

Fiona mengernyit saat tak mendapati satupun petugas valet di depan. Gadis itu menggaruk kepalanya, tidak tau dimana mobilnya diletakkan. Fiona merasakan rasa sakit di belakang tumitnya, melepas sepatu hak tingginya dan menjinjingnya. Seharusnya dia mengenakan sepatu kets saja tadi.

"Akhirnya aku menemukanmu."

Entah karena ia terlalu jarang mendengar orang berbicara bahasa Indonesia dengannya atau karena suara berat yang terasa tak asing di telinganya. Fiona cepat-cepat mendongak. Di depannya, sosok yang selama 9 tahun ini hanya ia rindukan lewat selembar foto mendadak ada di depannya.

Tak ada lagi seragam abu-abunya, digantikan jas yang disembunyikan dibalik mantel hitam. Tak ada wajah malas, tergantikan wajah tegas yang nampak berbeda. Rambut berantakannya hilang, tergantikan rambut yang tersisir rapi ke belakang. Hanya kacamata yang membuatnya terasa sama, walaupun dengan model yang berbeda. Aksa. Dia disini.

Aksa menaiki satu anak tangga. Tersenyum kearah Fiona. "Kamu tetap sama..." Menaiki anak tangga hingga tinggi mereka sejajar sekarang. "Gadis 9 tahun lalu, yang berhasil membuat aku tidak bisa melupakannya karena senyumannya."

"Apa yang kamu lakukan disini?" Fiona tersenyum kikuk, tak menyangka akan kehadiran Aksa yang mendadak. Ia melirik beberapa mobil yang berbaris tak jauh dari mereka. "Apa yang dilakukan sang Presiden disini?"

"Menjemput ibu negaranya."

Aksa tertawa ringan, saat Fiona mulai celingukan mencari orang yang dimaksud Aksa. Sekarang dia sadar apa yang berubah, Fiona lebih polos dibanding dulu. Pria itu mendekat kembali, hingga mereka berada di anak tangga yang sama. Tak butuh waktu lama, hingga Aksa menarik gadis itu ke pelukannya.

"Tentu saja, itu kamu Fiona." Aksa menghirup dalam-dalam bau strawberry-nya yang masih terasa sama hingga sekarang. "Kamu dan aku selalu kamu."

Fiona tanpa sadar terkekeh merengangkan pelukan Aksa "Ditinjau dari bahasamu, sepertinya kamu yakin perasaan ku tetap sama." Ia tersenyum pelan. "Kenapa kamu seyakin itu?"

Aksa hanya tersenyum lebar, membenarkan anak rambut Fiona yang sedikit berantakan. Dan kata-kata berikutnya yang diucapkan Aksa membuat Fiona yakin. Jarak tidak merubah mereka, ataupun perasaan mereka. Dan sama seperti dulu, dia tetap yakin kepada Aksa.

"Karena ketika melihat senyuman kamu, aku sadar tempatku masih disana. Belum tergantikan. Dan kamu adalah rumah dan akhir itu. Kamu dan akan selalu kamu."

Ya, ini bukan akhir dari kisah mereka. Tapi awal dari kisah mereka. Dan jarak adalah rintangan pertama mereka, sebelum merasakan yang namanya Happily Ever After. Mungkin akhir kisah mereka tidak akan seperti Cinderella, Aladdin dan Putri Yasmin, dan ribuan kisah tuan putri di luar sana. Tapi mereka berharap, akhir mereka hanya satu.

Terus bersama dan berbahagia.

Titik Koma [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang