Part IV: Tumpangan (Bintang's Arc)

221 47 2
                                        

Kau tahu apa yang paling kusuka dari langit malam? Keberadaan bulan.

Bulan akan selalu identik dengan langit malam, karena ia tidak pernah tidak tampak ketika birunya langit mulai berganti dengan hitam.

Walaupun malam itu mendung dan bintang tidak tampak, bulan akan selalu ada, selalu menyinari kita semua dengan cahaya abadinya.

-

"Em.. Saya pake baju biru, duduk di meja 9."

"Oh, ya, saya ke sa—" Kalimatku terputus, karena ternyata meja dimana perempuan berambut biru itu adalah meja nomor 9. Ia juga mengenakan baju yang sama dengan deskripsi Bulan—baju berwarna biru.

Segera aku pun mendekatinya, berniat untuk memastikan.

"Ini Mbak Bulan, ya?"

Namanya Bulan, dan ia cantik.

-

Perempuan itu tampak terpaku untuk beberapa saat. Aku menangkap manik matanya bergerak ke arah layar handphone-ku, kemudian kembali menatap wajahku. Apa ada yang aneh di wajahku?

"Mbak?" Aku memanggilnya lagi, mencoba membangkitkan perhatiannya.

"E-eh, iya, Mas. Iya, saya Bulan. Silakan duduk, Mas." Ia langsung merespon panggilanku dengan mengarahkan tangannya ke arah kursi yang ada di hadapannya. Manik matanya tampak tidak fokus.

Aku pun duduk di hadapannya, senyum masih menggantung di wajahku. Sebagai salah satu supervisor bagian HRD di tempatku bekerja, aku dituntut untuk tahu bagaimana cara bersikap kepada orang yang baru ditemui.

"Mbak udah pesan?" Aku membuka topik, kemudian mengalihkan pandanganku ke buku menu yang kini sedang kubuka.

"Ah, iya, udah, Mas."

Mendengar responnya yang singkat, aku pun berusaha untuk menjaga suasana agar tidak kaku. "Pesan apa tadi? Saya jarang ke sini, jadi nggak tahu apa yang enak.."

"Saya minum aja, Mas."

"Beneran? Mbaknya buru-buru, ya?"

Jujur, aku sedikit terkejut mendengar pernyataannya. Apa dia ada janji lain? Apa aku mengganggu waktunya?

"Nggak, sih, Mas. Saya nggak laper.."

"Oh gitu, ya. Hm.. Oke, deh."

Hm, sayang sekali. Padahal aku mau mentraktirnya makan. Bukannya aku tertarik dengannya atau apa—ya, kuakui dia memang cantik, sih—hanya saja sebagai orang yang sopan, kita harus tahu bagaimana cara berterima kasih.

Tapi, kalau memang dia tidak mau, ya.. apa boleh buat. Seraya memikirkan hal tersebut, raut kecewa pun tampak di wajahku.

Setelah selesai membolak-balik buku menu, aku pun memantapkan pilihanku dan memanggil seorang waitress.

"English Breakfast Tea satu sama Spaghetti Aglio Olio satu, ya, Mbak."

"Baik, saya ulang ya, Mas. Satu English Breakfast Tea dan satu Spaghetti Aglio Olio. Ditunggu, ya, Mas."

Setelah waitress tersebut meninggalkan kami, aku memusatkan pandanganku kepada Bulan. Seperti yang sudah kuakui berkali-kali tadi, Bulan adalah perempuan yang cantik. Dia punya tahi lalat di masing-masing sisi pipinya. Kelopak matanya kecil, tapi matanya tidak sipit. Bulu matanya pendek dan tidak dipulas dengan maskara. Rambutnya biru sebahu, bukan pemandangan langka tapi bukan pula pemandangan yang umum. Aku berani bertaruh dia baru menginjak usia awal 20, dan ia pasti punya lesung pipi.

Daybreak • 민현Where stories live. Discover now