Part VIII: Permulaan (Bintang's Arc)

191 34 11
                                        

Tuhan memang punya rencana-Nya sendiri. Aku merasa bersalah karena sudah berpikiran negatif ketika aku percaya bahwa kemarin adalah satu-satunya saat dimana aku bertemu dengan Bulan.

I mean, siapa yang menyangka kalau kemarin bukanlah kala terakhir bagi pertemuan kami? Semua orang waras yang tidak suka berharap muluk-muluk pasti akan memiliki opini yang sama denganku.

Hari ini Bulan tampak berbeda. Setelannya kantoran sekali-atau lebih tepatnya setelan anak magang sekali. Yang membuatku bingung, bagaimana bisa ia mempertahankan warna rambutnya itu? Memangnya zaman sekarang banyak, ya, perusahaan yang sebebas itu?

Ah, peduli amat soal perusahaan. Selama ia tampak cantik, it's a yes for me.

Oops. Sadar, Bintang. Takdir sedang bermain-main dengan kalian. Cepat atau lambat, ia akan bosan dengan sendirinya.

"Wah, saya nggak nyangka kalau kita bakal ketemu lagi," ucapku, berinisiatif membuka percakapan. Aku melemparkan pandanganku ke arahnya untuk sejenak, sebelum mengembalikannya ke arah jalanan.

"Ah.. Iya, Kak.." jawabnya, sedikit gelagapan. Apa aku mengejutkannya?

"Tadi saya lihat kamu di halte bus, keliatan lagi bingung gitu. Emang kamu kenapa?"

"Erm... Sebenernya tadi saya ketinggalan bus, jadi bingung mau naik apa."

This lady is going through a lot. Apa supir bus zaman sekarang tidak punya hati, ya? Bisa-bisanya tidak memberhentikan kendaraan di saat ada penumpang yang sudah berlarian mengejarnya.

"Ketinggalan bus? Ya ampun, pantesan... By the way, kantor kamu di mana? Biar sekalian aja saya anter," tawarku setelah mendengar situasinya. Yah, sekali-sekali tidak apa-apalah telat ngantor.

"Ah, nggak usah, Kak. Aku turun di halte terdekat aja, ngejer bus," tolaknya halus.

"Udah, nggak apa-apa. Siapa tahu kantormu deket sama kantor saya."

Bagaimana mungkin aku membiarkan seorang perempuan yang sudah menghabiskan energinya untuk berlari mengejar bus menunggu bus lain hanya untuk mencapai kantornya ketika aku bisa membantunya sampai di kantor lebih cepat?

Kalau aku adalah seorang pria berdarah dingin yang suka melihat wanita menderita, mungkin ucapannya itu akan kukabulkan.

Ia tampak berpikir, ekspresinya sama dengan ketika ia berpikir untuk mengambil paketnya di rumah kostku semalam. Hingga akhirnya, bibirnya membuka, menandakan ia telah menetapkan keputusannya.

"Kantor saya di-"

KRUYUK

Sebuah bunyi asing tiba-tiba terdengar, berhasil menginterupsi ucapan Bulan. Aku memalingkan pandanganku ke spion di sisi kananku, menyembunyikan senyum lebar yang tanpa sadar terulas di wajahku.

Aku dapat melihat Bulan merutuki dirinya sendiri, dilihat dari wajahnya yang mengerut dan matanya yang dipejamkan paksa. Tangannya menyisir perlahan rambutnya ke belakang, sedikit mencengkram tengkoraknya. Aku pun memutuskan untuk bersikap biasa saja dan menahan tawaku agar tidak lepas.

"Belum sarapan?" tanyaku, berusaha tidak terdengar berbeda barang sedikit pun. Agar aktingku sempurna, aku harus tetap fokus dengan jalanan yang ada di hadapanku.

"Ah, iya, hehe. Maaf..." Ia terdengar sangat lucu. Astaga, ingin sekali aku melihat bagaimana ekspresinya, but a good actor has to stay true to his acting.

"Kenapa minta maaf? Wajar, kan, kalau kamu nggak sempet sarapan?" ujarku, masih berpura-pura fokus ke jalan.

"Em.. Iya, sih.."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 24, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Daybreak • 민현Where stories live. Discover now