.:11:.

5.5K 1.4K 288
                                    


"It's good to see you laugh." Helen berkata lirih, tapi Luke seolah mendengar bisikan merdu di telinganya, "Don't worry about anything, Luke. You know I'll always be there for you."

Luke tersenyum simpul. Ia menolehkan kepalanya ke arah Helen, sadar dengan jarak yang sangat dekat di antara mereka. Pria itu memejamkan matanya dan menyentuhkan kening mereka. Helen tidak merasa keberatan sama sekali – memang, ada rasa panas yang mulai menjalar di pipinya, tapi itu terasa nyaman.

Tidak ada kata-kata di antara mereka selama beberapa saat, hanya hembusan napas pelan dan kening yang saling bersentuhan...

...sampai Luke mulai tersenyum geli.

Helen menarik dirinya, menautkan alis karena heran dengan sikap Luke yang tiba-tiba. "Ada yang aneh?"

"Kau..." Luke ingin mengontrol ekspresi wajahnya, tapi tidak bisa, "Kau tidak perlu naik ke atas kotak kecil itu hanya karena ingin menciumku."

Helen melihat ke bawah kakinya dan kearah Luke, bergantian. Ekspresinya berubah sebal. "Salahkan tinggimu itu."

"Berbahagialah dengan tinggimu, Helen. Tuhan sudah menciptakan porsi yang pas untuk setiap manusia." Luke mengeluarkan cengiran khasnya.

"Aku merasa seharusnya aku lebih tinggi." Helen turun dari kotak dan langsung merasa menciut beberapa senti, ia bersiap melangkah pergi dari tempat itu.

"Tidak ada yang salah dengan tinggimu." Luke menepuk pundak wanita itu, sedikit memutarnya agar ia dapat melihat wajah Helen, lalu mencium pelipis wanita itu sambil lalu. "It's perfect for me."

Helen mengamati punggung Luke yang semakin menjauh, sedangkan tangannya berada di tempat yang baru saja dicium Luke. Tanpa ia sadari, Helen merasa bersyukur memiliki badan yang cukup mungil untuk orang seusianya.

Luke tidak terlalu memikirkan tindakannya barusan dan apa dampak yang mungkin ia berikan pada Helen. Ia sedang dalam mood yang bagus – Luke sendiri tidak paham kenapa ia merasa demikian.

Sisa hari itu berlangsung dengan baik, meskipun Helen sempat beberapa kali terkena kibasan ekor Bells saat sedang membersihkan tubuh sapi itu. Entah kenapa Bells tampak lebih aktif dari biasanya, tapi nafsu makannya semakin berkurang – Helen akan melaporkan hal itu kepada Luke nanti.

Setelah semua pekerjaan di peternakan selesai, Luke mengantar Helen pulang, seperti biasa.

"Terima kasih sudah mengantarku, Luke."

"No problem, sudah menjadi salah satu tugas harianku." canda Luke.

Helen tersenyum lebar lalu melangkah kearah pintu rumah, mengeluarkan kunci dari saku dan membuka pintu tersebut. "Kau bias mengambil keranjang-keranjang itu di dapur, Luke. Aku harus ke toilet."

Luke mengangguk tanda mengerti. Ia langsung menuju ke dapur untuk mengambil keranjang susu yang selalu ia titipkan saat menjemput Helen.

Lalu sesuatu menarik perhatiannya.

Telinga pria itu seperti mendengar suara wanita yang sedang berbincang – bukan suara Helen tentunya. Penasaran, ia mencoba mencari sumber suara itu.

Suara wanita dan...percikan air?

Luke berusaha menajamkan pendengarannya. Bagaimana mungkin ia mendengar suara wanita?

"...I assure you..."

"No...how..."

Suara itu semakin jelas, dan sepertinya bukan hanya satu suara.

Ada beberapa wanita yang ia dengar.

My Unintended [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang