Chapter I - Guidance I

12 2 0
                                    


Rintik-rintik hujan yang deras meluncur dari payung yang dipakai Karasu, hampir bersamaan dengan hentakan kakinya menelusuri hutan yang tebal itu. Dibawah perlindungan payung tersebut, pemuda berambut coklat itu sedang memakai ekspresi yang serius.

Telah satu minggu berlalu sejak ia menetap sementara di kota ini, dan pada hari inilah muncul gosip bahwa penampakan menakutkan yang dibicarakan penduduk luar benar-benar ada di tempat ini. Dan sekarang dia dengan nekat memasuki hutan ini demi mencari tahu apakah gosip itu benar atau tidak.

"..." Pemuda tersebut tidak menuturkan satu kata pun selagi dia mengikuti jalan setapak dalam hutan tersebut. Entah ke arah mana dia pergi, tapi kalau situasi tiba-tiba menjadi tidak baik, dia tinggal mengikuti jalan setapak ini untuk kembali ke dekat penginapan.

Melihat ke atas, Karasu melihat langit abu-abu yang kelam, sebagian besar ditutupi oleh tebalnya kanopi dari pohon. Disertai hujan deras yang turun saat itu, mengingatkan Karasu akan pemandangan yang menyertai peristiwa yang sedih.

Pemuda berambut coklat itu kemudian menggeleng kepalanya dan kembali melihat ke depan, ekspektasinya hanya ada jalan setapak sepanjang-panjangnya di depan, namun apa yang dilihatnya membuatnya sedikit terkejut.

Terdapat sebuah bangunan yang terbuat dari kayu yang dicat coklat di depannya. Kemungkinan karena catnya, kayu tersebut tidak basah sedikitpun terkena hujan. Dari kejauhan nampak sebuah lampu yang menyala dari jendela bangunan berlantai satu yang tampak luas tersebut.

Selama dia mengembara, Karasu tidak pernah melihat ada sebuah bangunan, apalagi yang tidak lapuk akibat hujan deras ini, ditengah hutan yang tebal. Dia hanya bisa berkedip sejenak, agak tidak percaya bahwa bangunan di depan nya ini memang benar-benar ada atau hanya imajinasinya saja.

Setelah sejenak berlalu, pikiran Karasu akhirnya menanggapi bahwa ya, bangunan ini memang terletak di tengah hutan yang tebal tanpa alasan yang logis. Mungkin pemiliknya dikucilkan atau mengasingkan diri dari penduduk sekitar?

Apapun itu, mungkin pemilik rumah ini tahu mengenai penampakan menyeramkan yang berada di sekitar daerah ini. Setelah sampai di teras rumah yang berkanopi itu, Karasu menutup payungnya dan meletakkannya di samping pintu, sekaligus melepas sepatunya.

"..." Karasu mengetuk pintu kayu yang berada di depannya. Setelah beberapa saat, terdengar suara laki-laki berkata, 'sebentar!' dengan nada agak tergesa-gesa. Saat pintu kayu terbuka, Karasu agak menoleh ke atas tatkala melihat penghuni rumah ini.

Seorang laki-laki dengan wajah ramah dan dewasa, dengan rambut berwarna hitam yang rapi diatur seperti bentuk 'M'. Sepasang kacamata persegi berwarna putih beristirahat di batang hidungnya, dan mata hitamnya mencerminkan kebajikan yang sangat besar.

"Ah, silahkan masuk!" Katanya dengan senyuman kecil. Karasu hanya mengangguk sambil mengikuti pria tersebut masuk ke dalam bangunan kayu itu. Sesampainya di dalam, pria tersebut menyarankan Karasu untuk duduk di sofa berwarna biru muda di seberang, dan dia mengangguk lagi.

Pemuda tersebut melihat sekelilingnya. Didalam bangunan ini dicat putih dan diterangi oleh lampu neon sebanyak 3 buah. Ada beberapa pintu disekitarnya yang bertuliskan 'Kamar Tidur', 'Kamar Mandi', 'Dapur', dan lain-lain.

Tapi yang paling menarik perhatian adalah sebuah meja yang terletak di sudut ruangan, dan berdiri sebuah kaleng di atasnya yang berisi spidol dan pena. Dibelakangnya terdapat papan tulis berwarna putih dan di depan meja terdapat karpet dan beberapa meja kecil dibentang.

"Ini sekolah yang kusediakan bagi anak-anak yang tidak mau didiskriminasi atau bagi yang tidak mampu." Kata pria tersebut sambil menyodorkan secangkir teh ke Karasu. Pemuda tersebut melihat ke teh tersebut sesaat, kemudian mengambilnya dengan pelan.

"...Dari mana pendapatanmu?" Adalah kata-kata yang keluar dari mulut pemuda tersebut. Kalau pria didepannya menyediakan sekolah bagi anak yang tidak mampu, berarti dia menyajikan ilmu tanpa dibayar. Akan tetapi, tentulah pembangunan sekolah ini membutuhkan biaya yang sangat banyak.

Mendengar itu, pria berkacamata tersebut hanya tersenyum kecil sambil meminum teh miliknya.

"Saya mempunyai dua teman yang pendapatannya banyak. Mereka dengan sukarela memberikan beberapa bagian dari uang mereka." Seperti mengingat kenangan yang manis, pria tersebut tersenyum.

"...Oh." Karasu mengeluarkan catatannya dan segera mencatat hal-hal penting yang baru saja dibicarakan tadi. Pria berkacamata itu menaikkan alisnya, tapi tidak melakukan apa-apa selain meminum tehnya perlahan.

'XX-XX-19XX #6 Sekolah di dalam Hutan

Sampai sekarang aku belum berhasil menemukan penampakan itu. Akan tetapi, aku bertemu dengan seorang pria berkacamata yang rupanya bekerja sebagai seorang guru secara sukarela. Melihat anak-anak yang suka mendiskriminasikan, aku agak heran mengapa dia tabah menghadapi semua anak menjengkelkan itu.'

"Oh iya, perkenalkan, saya Suiji Akabane, lebih akrab dipanggil Akabane-sensei." Kata pria berkacamata tersebut sambil tersenyum, tidak melepas genggamannya dari cangkir teh ditangannya. Karasu terdiam sesaat sebelum sebuah kalimat keluar dari mulutnya.

"...Karasu. Karasu Haiyama." Tutur pemuda tersebut dengan nada pelan sambil meminum tehnya. Iris berwarna ungunya tidak lepas dari seorang guru yang sekarang duduk di depannya.

~

(Next: Guidance II)

Featured Illustration: Suiji Akabane

Featured Illustration: Suiji Akabane

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Observations of a CrowWhere stories live. Discover now