(28) Love in The Moment

66 8 2
                                    

~Meskipun hanya pertengkaran. Setidaknya hal itu yang dirindukan.~

"Jangan gila Rief, aku wanita. Tidak pantas tinggal satu atap dengan para lelaki yang tidak ada hubungan apa-apa. Aku tinggal di apartemen dengan sahabatku yang lain. Aku janji akan berhenti setelah misi ini selesai," jelas Liona.

Hafiz dan Dio hanya menyimak tenang pembicaraan mereka. 
"Baiklah, aku hargai keputusanmu. Tapi aku selalu mencemaskanmu." Ada jeda sejenak dari ketegangan mereka. Semilir angin mampu menggerakkan kerudung biru pasminanya. Di meja bundar itu lah mereka seperti mengadakan konferensi. Ya konferensi pernikahan.

"Bagaimana kalau kita menikah bulan ini?" Pertanyaan yang super wow bagi ketiganya.

Jemari Liona gemetar, ia menarik napasnya perlahan dan mengulum senyum. "Aku ingin kau menyelesaikan studimu dan aku ingin mempersiapkan diriku terlebih dahulu."

"Jadi saat ini kau belum siap?" selidik Arief lagi.

"Maaf aku belum siap, datanglah kepada kedua orangtuaku akhir tahun ini. Aku akan mempersiapkan diri, itu pun jika kau sudi menunggu."

"Mau seribu tahun pun aku siap menunggumu. Tapi aku titip hatiku ya." Gombalan itu bukannya hanya mampu menyulap bibir Liona tertarik simetris. Namun Hafiz dan Dio juga turut tersenyum.

"Awas baper bang!" bisik Dio pada Hafiz. Hafiz mencubit paha Dio manja.

"Ehem ..., kalau Nona ingin sesuatu, bisa datang ke kantor kami," ucap Hafiz sembari memberikan name card.

*
"Innalillah Han, tuh pipi dapat cap dari mana? Terus matamu bengkak," Sarah membekap mulutnya dengan tangan kanan, "kamu habis nangis?"

"Enggak habis ketawa haha ...." Adegan tidak lucu, kesal Sarah.

"Mulut dapat berkata lain namun mata tidak akan pernah berbohong. Ayo masuk! Biar kubuatkan jus."

Jam telah menunjukkan pukul dua. Mungkin tidak masalah jika pulang pukul empat nanti. Hani setuju. Ia lebih memilih buat jus bersama di dapur. "Nenekmu mana Sar? Terus Liona juga mana?" Hanya saja rumah tampak sepi.

"Oh, nenekku tidur siang sedangkan Liona baru saja pergi dari sini," jawab Sarah seadanya. Hani menatap Sarah penuh kesal.

"Ayolah Han, aku lupa memberitahumu, kau pikir dia itu saudaramu apa?"

"Bukan, tapi ia sudah kuanggap adikku sendiri. Apakah kau tak menyadari bahwa ia penuh misteri?" Sarah menggeleng sambil mengupas mangga, "Yang penuh misteri itu dirimu. Cap tangan orang kenapa bisa nempel di pipimu?"

Hani mendadak bisu, dadanya masih dipenuhi emosi. "Ada orang gila yang mengaku pacarnya Heru dan menamparku di depan banyak orang."

Sarah masih menelaah perkataan Hani. "Tunggu, Heru itu yang dijodohkan samamu?"

Hani mengiyakan dan dilanjutkan dengan curhatan Mama dan A'a.

"Tapi menurutku, kau harus tahu seluk beluknya Heru deh. Agar kau bisa tahu mana yang benar dan salah," ide cemerlang baru saja Sarah tawarkan.

*
Malamnya. Papa, Dio dan Arief tengah berbincang di ruang santai. Sedangkan Hafiz masih berada di ruang khususnya membaca majalah sembari menikmati teh. Setelah ia merasa bosan, akhirnya ia berniat ikutan nimbrung dengan papanya. Pucuk dicinta ulang pun tiba. Sang Papa memanggilnya dengan isyarat kibasan tangan.
"Papa sudah tahu kalau Arief akan menikah tahun ini, tapi setidaknya kamu harus lebih dulu menikah."

Jleb, rasa kalbunya mulai aneh. Berita itu seperti halilintar yang menyambar. "Selama ini Papa belum pernah memintamu menuruti kemauan Papa. Sekali ini saja dengarkan Papa, kamu bisa?"

Love In MagazineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang