(4) Seganas Harimau

210 29 7
                                    

~Terkadang, lidah mampu lebih tajam daripada pedang.~

Setelah mendengarkan penjelasan berulang dan mendetail. Akhirnya wali kedua murid tersebut memutuskan berdamai. Walau hasil akhirnya tidak menuntut kerugian. Namun menyisakan memar yang membekas. Setelah itu mereka pergi dari ruang BK. Aufa dan Dio sudah berada di dalam kelas.

Hani menghela napas. Ia lupa tidak ada angkot yang melintas di daerah tersebut. Aplikasi grab? Lupakanlah. Memori ponsel sudah dipenuhi dengan aplikasi yang berharga seperti word, buku digital, WhatsApp, dan lain-lain. Jalan kaki sudah menjadi hal yang biasa baginya.

Tak berapa lama ia mendengar deru mobil berada di sampinya dan berhenti. Dia tidak berpikir akan ada penculikan yang mendadak. Sebab tidak memiliki musuh pada siapa pun kecuali pria sinting. Apa? Otaknya mendadak macet seketika. Berurusan dengan pria itu membuatnya ingin lari dari kenyataan.

Kaca jendela diturunkan dan pria itu melihat ke arah Hani. "Kamu masuk! Kita pergi ke kantor bareng," pintanya.

Oh, sok so sweet. Tadi marah-marah mau diterkam. Sekarang mau pergi bareng, pikirnya.  "Nggak usah deh Pak nanti saya ngerepoti."

Tanpa berpikir lama Hafiz langsung keluar dari mobil dan membukakan pintu untuknya. "Cepat! kalau nunggu kamu bilang ia sampai besok pun gak bakalan mau atau mau saya pecat?" ancamnya dengan tatapan serius.

Otak Hani yang tadi macet berubah menjadi konslet sejenak dengan perkataannya. Ia langsung menuruti perintah.

Ketika di dalam mobil ia merasa mati kutu dibuatnya. Hal yang masih menjadi misterius tentang maksud dan tujuan pria tersebut.

Kemudian Hafiz memulai pembicaraan. "Hm, maaf ya kemarin saya cipratin kamu sebagai gantinya kamu saya beri tumpangan."

Kesabaran Hani mulai runtuh ia tak terima dengan semuanya. Sengketa pencurian, cipratan, ancaman terselubung, dan kemarahan dadakan datang beruntun. Meski pria ini tampan seantero semesta ia takkan luluh.

"Jangan kira Bapak memberikan saya tumpangan saya langsung memaafkan bapak ya. Saya menghormati bapak sebagai Bos saya. Tumpangan ini tidak sebanding ganti rugi malu saya kemarin. Untung saya masih punya kesabaran kalau tidak sudah saya marahin bapak di depan semua orang," cetus Hani dengan lancar.

Rahang Hafiz seakan mengeras. Entah dia sedang menghadapi wanita gila atau dia yang akan gila. "Ternyata mulut kamu itu seperti ganasnya Harimau ya. Lancang sekali kamu berbicara seperti ini. Bukannya bersyukur saya tumpangi," ucap Hafiz tak mau kalah. Wajahnya ikutan mulai merah padam bak menerkam mangsa.

"Maaf ya pak saya kan nggak meminta bapak untuk memberikan tumpangan tuh," belanya arogan. Apa, Harimau? Cantik-cantik gini dibilang ganas. Mata pria itu mungkin sedang rabun. Lebih tepatnya, mata hati.

Setelah mendengar perkataannya. Hafiz tak tahan lagi. Berurusan dengan Harimau ganas sudah mengacaukan segala ketenangannya pagi ini. Ia menginjak rem mobil. "Turun segera dari mobil saya!" pinta Hafiz.

Hani segera bergegas keluar dari mobil. Berusaha tidak membanting pintu mobil, melainkan menutupny biasa saja. Ia tahu harga mobil itu mahal. Kalau rusak, entah akan dibawa ke mana lagi dirinya. Bisa-bisa menuju persidangan pula. Lagi-lagi pertemuan mereka menyisakan perselisihan. Kini apa yang akan terjadi selanjutnya? Hani mulai menyadari betapa arogan sikapnya padanya.

"Uh, Aku ngomong apaan sih. Kenapa bawaanya langsung emosi sih liat dia. Semoga dia enggak jadi pecat aku. Apa aku harus meminta maaf ya sama dia? Argh, kok bisa sih? Malah enggak ada angkot lagi. Hani apa yang kamu lakukan?" gerutunya kesal.

Love In MagazineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang