(22) Isyarat Rasian

76 10 1
                                    

~Mimpi bisa saja sebagai isyarat.~

Gelap gulita malam merangkul seluruh jagat hutan di kala malam. Ditemani suara jangkrik yang melengking serta angin malam yang mulai menusuk.

"Sarah!" ucap Hani memanggil-manggil nama yang selalu ia ucap di kala pekerjaan kantor selalu membumbuhinya. Ia membawa senter sebagai penerangan untuk mencari sahabatnya yang hilang. Tas ranselnya terasa berat ketika sejam ia berputar mengelilingi hutan. Ia mengenakan  hijau yang dipadukan dengan busana hijau pula. Agar dirinya pun lebih aman jika berdekat-dekatan dengan pohon rindang apalagi semak-semak. Ia melihat pesan singkat terakhir sahabatnya.

Han, terima kasih telah ada bersamaku menjadi sahabatku selama ini. Maaf aku tadi mengatakan sesuatu tanpa mengetahui seluruh isi hatimu dulu.

Sekarang Hani mulai berdecak kesal karena tak ada angin tak ada hujan ia meninggalkan rumah neneknya. Padahal menurutnya tadi baik-baik saja di telepon. "Sarah, kau di mana?" teriak Hani sekali lagi. Padahal suaranya telah menggema. Tapi tak ada satu pun suara pantulan yang ia terima. Ia terus berjalan untuk mengusik ketakutan. Berharap harimau, serigala, ular, singa atau apalah tak ia temui.

Tiba-tiba ia mendengar suara isak tangis lima meter dari arahnya. Ia terus menyenteri tempat yang tak seberapa jauh darinya. Ia melihat baju putih dengan kerudung putih pula sedang berjongkok. Sepertinya jantungnya mulai tak sopan lagi. Dan sekujur tubuhnya mulai gemetaran tak karuan serta keringat dingin mulai mengucur dari pori-pori kulitnya.

"Ini kok horor banget ya," ucapnya pelan. Ia takut kalau yang di hadapannya ini kuntilanak, suster ngesot, atau sundel bolong. Ia nggak bisa bayangkan gimana kalau nanti bisa pingsan mendadak. Tunggu dulu, ada yang belum ia senteri yaitu suatu alasan yang membuat wanita itu berjongkok. Mungkin ia mendapatkan harta karun terus nangis terharu. Kebanyakan mikir, lebih baik ia segera menyenterinya.

Kemudian wanita itu menoleh. Sarah, itu benar dirinya. Lalu kenapa ia menangis. Sarah memperlihatkan tangannya yang berlumuran darah. "Aku harap ini cuma mimpi," ucap Hani pelan sekali lagi terhadap dirinya sendiri. "Han, aku membiarkannya mati perlahan. Aku nggak bisa menolongnya sekarang ia mati karena aku," ucap Sarah sambil menangis.

Semoga yang diucapkan sahabatnya ini cuma bohongan belaka. Tidak mungkin sahabatnya menjadi pembunuh. "Apakah kau membunuhnya?" tanya Hani meyakinkan.

Sarah mengangguk dan tatapannya kini benar-benar horor. "Iya, sekarang aku akan membunuhmu!" seru Sarah sambil membawa batu besar dan akan melemparkannya kepada Hani.

"Tidak!" teriak Hani dengan keras dan semuanya menjadi gelap gulita. Benar-benar gelap dan terasa sakit saat ia terjatuh dan terbangun dari tempat tidur. "Aduh, kayaknya aku benar bermimpi deh. Tapi kenapa lagi-lagi harus diakhiri dengan jatuh dari tempat tidur," ucap Hani lirih. Ruangan terasa gelap karena mati lampu dan ia mulai mimpi yang menyeramkan. Hani beristighfar sekali lagi. Ia beranjak dari tempat tidur dan mengarah ke meja di mana ponselnya berada. Kebetulan sekali waktu menunjukkan sepertiga malam dan ia ingin shalat tahajud untuk menceritakan semuanya pada Sang Mahakuasa.

*
"Apa yang Rief suka dari fajar dan senja?" tanya Dio dengan panggilan nama. Jika dalam silsila keluarga, anak dari tertua harus dihormati dengan sebutan nama. Meskipun ia terlihat muda.

"Apa ya, sama-sama merah keemasan dan suasana mungkin," jawab Arief sambil bertopang dagu di atas meja makan menunggu sarapan datang.

"Rief sampai kapan di sini?" Pertanyaan Dio yang berkesan mengusir.

"Kenapa, pengen cepat aku pulang ya?"

"Kan nanya, bukan ngusir. Kan biar ada pelepasan seperti upacara atau acara perpisahan gitu," jawab Dio sekali lagi sambil senyum mesem-mesem.

Love In MagazineWhere stories live. Discover now