(5) Tumpangan Gratis

197 28 2
                                    

~Setidaknya tumpangan itu adalah jalan menuju tujuan.~

Seperti biasa pada jam-jam pulang kerja. Jalan raya dipenuhi manusia yang hendak pulang menuju kediaman masing-masing. Suasana lampu merah semakin gerah dipenuhi berbagai macam kendaraan. Mulai dari roda dua, tiga, empat hingga dua belas. Mereka menunggu giliran lampu hijau menyala untuk berjalan.

Sudah lima belas menit Hafiz melirik jam tangan sembari berharap semoga adiknya masih ada di tempat latihan basket. Ia bingung jalan mana yang akan dilalui. Karena arah yang searah memaksanya untuk berputar-putar dan tak menemukan titik temu. Sudah dua kali ia memutari lapangan benteng padahal yang dicari lapangan merdeka. Terpaksa ia mengeluarkan jurus terampuh dengan bertanya pada google maps. Dengan kecepatan jaringan 4G akhirnya ia menemukan tujuan.

"Abang lama ya, Dio nunggu berjam-jam tahu," ucapnya sambil menggerutu kesal.

"Ya maaf deh, Dik. Sudahlah macet abang pun sedikit lupa di mana tempat latihan kamu. Maklumlah Abangkan sudah tiga tahun di Jakarta," jawabnya sambil membukakan pintu mobil. Alasan yang masuk akal membuat Dio memaafkan kesalahan abangnya.

"Iya deh bang, Dio maafin. Bang makasih ya udah mau gantiin Mama Papa," ucapnya sambil menatap wajah sang abang.

"Iya. Cepat sana pakai sabuk pengaman. Kamu mau abang kena tilang? kan nggak etis aja pria tampan dapat masalah."

"Hah, abang ini ada-ada aja. Oh ya, abang kenal sama kakaknya Aufa?" Dio masih penasaran tentang sikap Abangnya pada Kakak Aufa. Jika dibilang dekat tidak, jika dibilang tidak kenal juga tidak. Pasti ada sesuatu di balik itu.

Aduh, mendengar namanya saja membuat rahangnya mengeras. "Enggak sih. Cuma yang abang tahu dia kerja di perusahaan papa," jawabnya singkat sambil melajukan mobil.

"Emangnya abang ada masalah apa sama kakaknya Aufa?" Pertanyaan sang adik kini semakin detail seperti mata-mata yang mengorek informasi.

"Cuma masalah nggak disengaja kok Dik. Kamu tuh ya makin lama makin kepo. Udah azan maghrib noh, singgah dulu ke Masjid ya. Nanti gak sempat kalau di rumah," jawabnya sambil mengalihkan pembicaraan karena ia paling tak suka ditanya-tanya. Sang adik pun menurut.

*
Sesampainya Hani di rumah, Mama melihat Hani dibonceng seseorang dari jendela. "Itu siapa Han kok nggak diajak singgah?"

"Oh, itu teman sekantornya Hani Ma. Si Sarah ituloh. Sudah Hani ajak tapi katanya lain kali aja," jelasnya sambil melepaskan segala asesoris kerja dari mulai name tag, jaket, serta sepasang sepatunya.

"Oh ya ya. Sudah sana mandi, nanti keburu maghribnya habis lo! Habis itu langsung turun makan malam bersama," ucap Mama mengingatkan.

Seperti biasa setelah makan malam selesai. Keluarga kecil ini saling berbagi pengalaman atau mood masing-masing setiap malam sambil melakukan aktivitas masing-masing. Aufa selalu membawa bukunya sambil belajar. Hani membawa tablet untuk memperdalam pekerjaannya. Sang Mama membaca majalah. Sedangkan sang Ayah membaca koran.

Ayah memang sangat menekankan anaknya untuk tidak menonton televisi pada hari biasa kecuali malam minggu. Itu semua agar anak-anaknya belajar di waktu tersebut. Begitupun waktu tidur juga harus tidur jam sepuluh agar kesokan harinya tidak kesiangan.

*
Keesokan harinya, Hani masih melihat raut wajah galau Sarah seperti kemarin. "Gimana Sar udah tenang?" tanya Hani memastikan keadaannya.

"Sudah mendingan sih. Rencananya aku tiga hari di rumah nenek," jelasnya sambil menunjukkan senyum simpulnya. Namun itu tak dapat membohongi Hani karena mata tak bisa bohong.

Love In MagazineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang