17 : Arus :

Mulai dari awal
                                    

Sontak, Nolan teralih dari monitor, melihat penampilannya sendiri. Dia kontan terbahak. "Lah, iya, yak? Gue kayak Mat Solar begini!" Dia menderai tawa lagi. Setelah tawanya reda, dia tersenyum menatap adiknya. "You're the one who save my money, tho. Thanks for the scholarship."

"Gue kira lo bener-bener nggak ada duit," balas Nuri. "Habis, lo apa-apa serba hemat. Gue jadi segan, Bang."

"So?" Nolan mengangkat alisnya. "Let's say, ini waktunya kita kasih 'hadiah' buat diri kita atas achievement ini. Lo mau minta apa, Ri?"

Nuri menarik napas hingga pundaknya naik. Dia mengangkat kepala, mengerjap-ngerjap sambil mengingat-ingat apa yang dia inginkan. "Banyak, Bang."

"Coba sebutin dulu."

"Tapi, Bang," Nuri menyela. "Sebenarnya... ini kita lagi refleksi karena kita takut jadi kayak Mama nggak, sih?"

Nolan tertegun.

Setelah dicerna, apa yang adiknya ucapkan itu ada benarnya juga. Bukannya Nolan tak punya keinginan apa pun. Dia punya banyak keinginan yang melibatkan uang. Dan jelas saja, memiliki uang tabungan yang banyak sempat membuatnya ingin menghamburkan uang sesuka hati. Sebab, dengan uangnya sekarang, dia bisa membeli nyaris apa pun yang dia inginkan. Hanya saja, Nuri benar, dia selalu teringat dengan ibunya yang tamak akan harta dan berakhir kacau. Human's greed is equal to infinity. Tak ada batasnya. Pasti terus merasa tidak puas. Nolan ngeri dia akan berakhir seperti ibunya, karena itulah dia punya kontrol yang cukup baik untuk tidak menghamburkan uang. Dan tanpa dia sadari, ternyata adiknya juga merasa demikian.

"Gue mau diving di tempat-tempat yang belum pernah gue datangi," cetus Nolan. "Gue mau travelling. Gue mau beli jas sama tuxedo juga. Trus beli motor, nyicil mobil, nyicil rumah di Indonesia—"

"Abang mau balik ke Indonesia?"

Nolan mengerjap. Sepertinya, dia tak sadar sudah mengucapkan hal tadi. "Uh." Nolan menelan ludah. "Mungkin nanti."

"Bang, serius, nih," Nuri menggenggam tangan sang kakak. "Kalau Abang mau ke Indonesia, mau kerja dan tinggal di sana lagi, gue ikut, please!"

"Lah, kuliah lo?"

"Ya nggak apa-apa. Gue tetap kuliah di sini. Lagian, kan, bentar lagi gue kerja di perusahaan yang ngasih beasiswa. Ntar, paling gue cuti buat ke Indonesia."

"Lo kangen Indonesia banget?"

"Ya iyalah! Emangnya, Abang enggak? Kak Zraka sama Kak Bara kan, udah balik ke Indonesia dari lama."

Nolan bergeming. Berpikir.

Hizraka dan Bara memang sudah tak lagi ada di Virginia. Dan meski mereka pergi, Nolan masih punya teman lain di sini, baik dari rekan kerja atau orang-orang Indonesia yang tinggal di Virginia juga. Tetapi, rasanya sulit dicerna bagaimana orang-orang yang mengingatkannya pada Indonesia—orang-orang yang familiar—mulai meninggalkannya satu per satu. Semua dimulai dari kepergian Kartini.

Kartini.

Mengingat nama gadis itu, hati Nolan seketika berdenyut nyeri.

Seperti apa rupanya sekarang? Penelitian apa saja yang sudah dia lakukan? Apakah dia sudah memiliki perasaan terhadap orang baru? Atau, apa mungkin Kartini sudah dilamar? Sudah punya calon suami? Sudah menikah? Atau... mungkin sudah punya anak?

Segala kemungkinan itu membuat Nolan merasa lemas.

Apa sesungguhnya yang dia tunggu? Kartini? Bagaimana jika perasaannya sudah berubah? Bagaimana jika selama ini, hanya Nolan saja yang kesulitan untuk membuka hatinya kepada perempuan lain? Nggak, bukan susah buka hati. Emang nggak ada aja cewek lain kayak Kartini, batin Nolan. Tiga tahun berlalu dan tak ada yang benar-benar berubah dari perasaan Nolan. Ini mengerikan sekali. Bukankah dengan tidak adanya komunikasi dan presensi Kartini di dekatnya, Nolan seharusnya bisa melupakan perempuan itu? Bukankah seharusnya dia susah menyukai perempuan lain? Banyak perempuan menarik di sekitarnya. Tetapi, kenapa otaknya terus memikirkan Kartini?

Aberasi | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang