17 : Arus :

62.5K 7.7K 1.2K
                                    

unedited

: a r u s :

[ naik turunnya air laut disertai perpindahan massa air laut dari satu titik ke titik lainnya ]


2014



Nolan membaca laporan saham dari laptopnya.

Dua tahun sepeninggal Kartini, Nolan mulai menanam saham di beberapa perusahaan. Salah satunya di perusahaan ayah Aksel, PT. Bentala Hadi Nusantara. Nolan sudah mendiskusikan ini dengan adiknya dan Nuri setuju.

Sudah tiga tahun berlalu dari hari kedatangan Nuri di Virginia. Nolan berhasil menyelesaikan tabungan untuk biaya kuliah adiknya. Namun, di tahun kedua adiknya kuliah, Nuri berhasil mendapat beasiswa sampai lulus dengan prasyarat. Salah satu syaratnya adalah harus bekerja di perusahaan pemberi beasiswa selama dua tahun. Mengingat bahwa Nolan memang ingin tinggal dan memulai hidup baru di Amerika, Nuri mengirim permohonan beasiswa saat itu dan diterima.

Kini, di tahun keempat Nuri kuliah, Nolan sudah stabil secara finansial dan pekerjaan. Tatonya sudah terhapus. Dia sudah beribadah sebagaimana mestinya. Hubungannya dengan teman-teman dari grup forum diskusi pun masih terjalin baik. Hanya saja di minggu setelah Kartini kembali ke Indonesia, Nolan keluar dari grup dengan izin baik-baik. Terlepas dari itu, dia masih berteman dengan Autumn dan kawan-kawan baik lewat dunia maya maupun dunia nyata.

Daniel sudah kembali ke Indonesia tak lama setelah Kartini pergi. Dia mendapat pekerjaan di Indonesia dan Nolan turut melepas kepergian lelaki itu bersama keluarganya. Rasanya aneh melihat salah satu orang yang dapat menghubungkannya dengan Kartini ikut pergi meninggalkannya. Empat tahun berlalu dengan manusia yang datang dan pergi dari hidupnya—termasuk teman-temannya yang semenjak awal menyambutnya di Indonesia.

Bara sudah kembali ke Indonesia tiga tahun lalu, sementara Hizraka menyusul setelah studi S2-nya selesai. Bahkan, Riman kakak tingkatnya yang juga teman di forum diskusi pun juga sudah kembali ke Indonesia. Nolan sudah tak memiliki teman yang familiar lagi. Dan, dia merasa ada yang kosong, entah apa itu.

Jam dinding di apartemennya menunjukkan pukul lima sore. Dan, Nolan masih terpekur di depan monitor, mengenakan kaus oblong dan sarung sehabis salat Ashar.

"Abaaang! Mau makan, nggak?" seru suara Nuri dari arah dapur. Derap langkahnya terdengar menuju ruang tamu tempat Nolan sedang berdiam.

"Ntar aja," jawab Nolan, masih fokus pada monitor laptop. Tak lama, dia merasakan sofa ganda yang didudukinya sedikit menurun. Nuri duduk di sebelahnya, ikut membaca apa yang Nolan baca di monitor.

"Oalah, pantesan anteng banget. Lo ngitungin duit, ternyata," ujar Nuri, lalu menyeruput susu kotak di tangannya. Semenjak tinggal bersama, dia merasa lebih nyaman berdialog dengan gue-lo bersama kakaknya. Sebab, Nolan sendiri juga berdialog seperti itu kepada hampir semua orang. Nuri merasa jarak di antara dia dan Nolan semakin dekat sejak hidup berdua. Terasa seperti teman, sekaligus juga saudara tanpa menghilangkan respek di antara satu sama lain.

Meja ruang tamu agak berantakan dengan kertas, pensil, buku tabungan, kalkulator dan ponsel Nolan berserakan. Layar ponsel itu masih menyala, sehingga mau tak mau, Nuri turut menatap enam digit angka yang tertera di saldo tabungan dalam layar ponsel Nolan. Dia menarik satu sudut bibir ke samping dan menghela napas. "Masih dalam Dollar," komentarnya, kemudian dia menopang dagu, memerhatikan penampilan sang kakak dari atas ke bawah. "So this is the face of a millionaire." Dengan kaus Nolan yang berwarna putih agak lusuh serta bawahan sarung bekas salat tadi, seketika membuat Nuri berkomentar, "Gue nggak nyangka kalau face of a millionaire kayak gini."

Aberasi | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang