I'm Yours

11K 154 0
                                    


Braga menyupir dalam diam. Aku lebih diam lagi karena biasanya Braga tidak akan menanggapi obrolan apapun kalau dia lagi sibuk dengan pikirannya sendiri. Seperti yang dilakukannya sore ini.

"Jadi kita mau nongkrong dimana nih?" tanyaku pada akhirnya. Bosan dengan keheningan sepanjang jalan sejak Braga berhasil 'menculikku' dari kantor.

Aku melirik jam di handphone-ku. Jam 3 sore.

Sepakat untuk membolos sore hari ini menjadi bonus untukku setelah sesiangan mengerjakan proposal untuk klien baru. Apapun itu, kalau berhubungan dengan Braga pasti tidak bisa kutolak. Apalagi Braga yang seringnya kerja sampai larut, hari ini memutuskan untuk membolos karena mengeluh sakit kepala dan ingin ngobrol.

Braga gagal mendapat tiket pulang kemarin malam dan baru dapat tiket pagi tadi. Bukannya ke kantornya untuk bekerja, Braga malah mengemudikan si Grey - sebutan untuk Jazz Silver kesayangannya - ke kantorku dan serrta merta menculikku sebelum jam kantor dinyatakan berakhir. Tapi aku masih belum berani menanyakan alasan dia belum pergi juga ke Bandung untuk menjenguk calon mertuaku itu. Calon mertua kalau anaknya ini sudah resmi menjadi tunanganku sih. Paling enggak nembak aku dulu jadi pacarnya deh. Atau nyatain cintanya dulu gitu ke aku. Frustasi.

Tadi kami hampir memutuskan untuk nonton. Tapi, kondisi bioskop yang menurut Braga terlalu tidak nyaman untuk perempuan (aku), membuat Braga mengurungkan niatnya. Jadilah kami macet-macetan tanpa tujuan. Jelas sih arahnya menuju apartemenku, tapi masa prestasi bolosku hanya berujung jadi penumpang mobil 'parkir' di jalanan sih.

"Apartemen aja deh. Nanti tinggal milih mau duduk di mana."

---

Coffeeshop langganan kami ramai sekali sore ini. Begitupun dengan pojok favorit kami yang sudah ditempati beberapa anak muda dengan segala perangkat elektronik canggih. Sepertinya mereka lagi mengerjakan tugas kuliah atau entahlah. Terpaksa aku dan Braga harus duduk di area outdoor yang dekat dengan jalanan. Worst spot.

"Aku ke Bandung besok mau lihat Papa." Braga akhirnya bicara. Setelah rokok pertamanya menyentuh bibir merahnya. Okay, jangan bayangkan Braga menggunakan lipstik merah kesayanganku yah. Tapi, bibirnya memang berwarna merah....muda.

"Bandung? Ikut dong!" aku berteriak semangat.

"Kamu bolos dong?"

"Nggak. Besok aku sakit." Aku tertawa, menegaskan candaanku.

"Anak bandel!" Braga mengusap kepalaku dengan lembut.

"Nanti aku antar kamu ke rumah, aku pulang. Malam minggu aku ada rencana ketemu sama teman-temanku, tell me if you wanna join. Minggu pagi kita pulang karena aku harus prepare untuk berangkat ke Singapore lagi Senin.", Aku bengong mendengar Braga menjabarkan rencananya dalam satu helaan nafas. Tidak seperti biasanya yang selalu mengobrol dengan santai dan tenang.

"Wow!"

"What?"

"Jarang-jarang kamu ngomong selancar itu. Hahaha." Braga mengacak-acak rambutku lagi. Mungkin menurut Braga aku ini masih tampak seperti anak kecil. Tapi Braga tidak sadar kalau anak-anak muda yang tadinya sedang sibuk mengerjakan tugas mereka, sekarang menatap heran ke arah kami. Sambil senyum-senyum pula.

"Sebelum kamu yang lebih bawel."

---

Dalam beberapa bulan ke depan sepertinya aku akan menyandang gelar sebagai karyawan teladan......dalam bidang menipu bos. Pagi tadi aku berhasil meminta ijin pada bosku untuk tidak masuk hari ini. Thanks to begadang yang bikin suara aku sengau, si bos percaya saja kalau aku demam dan flu.

Braga sendiri hampir tertipu dan membatalkan aku ikut ke Bandung saat dia melihat mata merahku dan mendengar suara sengauku. Kalau yang ini harus berterima kasih pada drama Korea yang berhasil kulahap dalam semalam dan pastinya mengharu biru.

"Aku berangkat sendiri deh. Nggak mau aku bawa orang sakit."

"Seriously? Aku sudah bangun pagi-pagi biar ready pas kamu jemput, terus kamu batalin gitu aja?"

"Udah, cepetan pake baju kalau gitu. Aku nggak mau kesiangan sampe Bandung." Braga baru percaya aku tidak sakit sewaktu aku memaksa menarik tangannya ke dahi dan leherku.

---

Aku benci teknologi sama banyaknya dengan aku mencintai teknologi karena kemudahannya dalam beberapa hal di hidupku. Tapi, tidak untuk yang namanya telepon. Satu, bosku terus meneleponku berkali-kali hanya untuk bertanya di folder mana di dalam server kantor kusimpan draft proposal ke calon klien kakap kami. Aku bahkan terpaksa harus mengirim pesan whatsapp untuk menyebutkan urutan folder dan subfolder tempat menyimpan file tersebut.

Dua, sejak tiga puluh menit yang lalu kami tiba di rest area tol untuk sarapan pagi, Braga tidak lepas dari telepon genggamnya dan bercasciscus dalam bahasa Inggris. Conference call meeting dengan Bos-bosnya di Bangkok. Terpaksalah aku menatap haru lontong sayur Medan yang berhasil memberi kehangatan pagi ini di perutku.

"I'm sorry, Leandra." Braga ternyata sudah mengakhiri telepon maha pentingnya.

"Now, I'm yours."

Uhuk!

---

Lady in BedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang