1. Kemarahan Rasta

2.5K 113 4
                                    


Rasta tersenyum kaku ketika aku mengatakan jika dia sudah membohongiku. Kemudian dia diam lama sekali sambil kedua iris matanya menatapku tanpa berkedip. Aku sampai bengong dibuatnya.

Apa matanya nggak perih?

Sedang aku sendiri? Sebisa mungkin tak membalas tatapannya. Aku tak mau dia mengetahui bagaimana menyedihkannya diriku sekarang melalui mata, mata itu jendela hatinya orang kan? Air mataku serasa menggenang di ujung mata.

"Gue baru tahu ternyata elo udah menguntit Mentari diam-diam selama dua minggu ini."
Matanya menyorot tajam. Tidak ada lagi tatapan yang meneduhkan milik Rasta. Beginikah kamu yang sebenarnya? Atau aku yang terlalu buta hingga hanya mampu melihat sisi baikmu saja. Rasta Maafkan aku.

"A. Aku gak ada maksud." Bukan waktu yang tepat untuk berkelit. Tapi aku tidak bisa memberikan penjelasan pada Rasta. Dia tidak akan memaafkanku sekarang.

Dia berdiri. Tahu jika aku tak akan mau mengatakan yang sebenarnya.

"Rasta." Suaraku memelan. Aku ragu dia bisa mendengarku. Ekspresinya mengeras. Pipiku sudah basah dan aku gagal menyembunyikan perasaan cengengku. Semua sudah berakhir. Rasta tidak memercayaiku dan parahnya aku tak bisa memberikan pembelaan atas perbuatanku.

Bukankah dia yang telah berbohong? Tapi mengapa semua seakan menjadi aku yang salah?

Ah benar. Aku yang terlalu bodoh. Sekarang apalagi? Pasti akan sulit jika nanti bertemu dengan Rasta. Tapi tak melihat Rasta bukanlah gagasan yang baik untuk hatiku. Hhhhh pada akhirnya tetap saja aku yang terkesan membutuhkan laki-laki kejam itu.

Sudah Jam 10 lewat. Masalah Rasta membuatku lupa jika sekarang aku ada mata kuliah penting. Perasaanku yang kacau ikut menularkan kemalasanku. Enggan rasanya jika harus memasuki kelas dosen yang terkena Killer itu. Jadilah aku hanya diam di pojok taman kampus sambil membolak-balik lembaran buku novelku. Untuk beberapa saat Rasta dan mata kuliah yang sedang berlangsung menjadi terlupakan. Masa bodoh, aku perlu waktu untuk diriku sendiri.

"Medina!" Itu suara Jio. Makin lama suaranya makin jelas. Dan saat aku mengalihkan pandanganku dari novel yang kubaca wajahnya semakin jelas di hadapanku.

"Kok Kok kamu di sini?" Jio adalah Sahabatku sejak SMA. Diantara semua temanku hanya dialah yang benar-benar bisa membuatku nyaman. Kami kuliah di kampus yang sama meski beda jurusan.

Dia menatap wajahku dengan pandangan meneliti tanpa maksud lain.
"Kamu nangis ya." Kedua telapak tangannya yang selalu dingin mendarat di kedua Pipiku. Masih tersisa basah mataku meski sudah Mulai mengering.

Sumpah tindakan jio yang impulsif ini bikin jantungku jadi terancam. Bisa gak sih sikap Jio yang satu ini menghilang. Untung saja taman kampus sepi karena sekarang ini sebagaian besar mahasiswa berada di kelas. Jadi tidak ada aksi menonton tindakan dramatis ala Jio yang benar-benar bikin mual.

"Ichhh Jio lepas." Sungutku menarik kedua pergelangan tangannya agar lepas dari pipiku.

Tunggu bukannya tadi aku masih sedih karena Rasta? Kenapa sekarang aku menjadi kesal pada Jio dalam kurun waktu yang belum lama. Ckckckckck hati yang aneh. Perubahan emosi yang drastis.

TBC

Into You (Completed)Where stories live. Discover now