Aku tak akan menyerah dikeadaan seperti ini. Sebisa mungkin aku merubah raut wajahku agar terlihat lebih tenang.
"Pernah. Tadi saat di kafe."

Lelaki itu mendengus, "Bukan itu, maksudku sebelum hari ini. Jauh-jauh hari sebelum sekarang."

Tenang Yuna. Kendalikan dirimu. "Tidak." aku mendongak dan menatap lurus matanya, "Kalau sudah, silahkan pergi dari hadapanku dan pulanglah. Ini sudah malam, Pak." ujarku lugas. Sengaja aku menambahkan panggilan itu padanya. Mencoba menegaskan bahwa aku hanya pekerja di kafe tempat Rendi. Tak lebih dari itu.

Dan dugaanku benar. Adnan tertegun saat aku memanggilnya begitu. Raut wajahnya berubah menjadi kaku, rahang kokohnya mengeras. Entah apa yang sedang dipikirkannya sekarang, aku tak peduli dan memilih berlalu begitu saja. Namun sebelum melangkah lebih jauh, aku mendengar Adnan berteriak, "Aku yakin kita pernah bertemu!" kemudian hilang tertelan malam.

..

Pagi ini semuanya sibuk. Pelanggan yang penuh dan tugas titipan Rendi mampu membuat kepala berdenyut. Aku dan yang lain sampai kewalahan melayani pelanggan yang sepertinya tak akan sepi sampai jam tutup tiba.

Semua kursi dan meja penuh, sebagian dari mereka memilih untuk membeli makanan untuk dibawa pulang. Sedangkan sebagiannya lagi ada yang berani memprotes karena tak kebagian kursi dan meja.

Aku pusing. Pertama kali bekerja didalam kafe dan aku sudah dihadapkan dengan situasi seperti ini. Kalau begini lebih baik aku menjadi kurir antar makanan saja.

Menjadi asisten Rendi bukanlah hal mudah. Jika kau berfikir aku hanya akan duduk dan mengerjakan laporan untuknya, kau salah besar. Karena tugasku disini tak lebih dari pelayan lainnya. Hanya saja diberi wewenang lebih untuk menyuruh yang lain. Namun lagi-lagi itu hanya pesan tertulis, karena mana tega aku menyuruh ini itu pada mereka yang tak lain adalah keluarga keduaku. Tetap saja aku ikut bekerja, bahkan lebih berat dari itu aku harus memikul tanggung jawab untuk kafe.

"Cappuccino satu!" seru Lukman padaku dan yang lain. Lihat saja, bahkan untuk menghampiri kami dan menyampaikan pesanan saja dia tak bisa. Banyak pelanggan yang memanggilnya dan Kevin untuk memesan.

Tanganku dan Anis bergerak lincah membuatkan pesanan. Satu persatu pesanan selesai dan siap diantar, tapi disaat akan membuat pesanan selanjutnya, aku yang ceroboh tak sengaja menumpahkan cangkir berisi kopi panas ke tanganku. Rasanya panas bercampur perih saat cairan itu menyentuh kulit.

"Kau tidak apa-apa Yuna?" tanya Anis cemas. Dirinya mengambil tanganku dan menuntunnya kearah wastafel. Membasuh tanganku yang terluka dengan air mengalir sambil sesekali meniupinya.

"Ahh kau manis sekali... Tapi ini bukan apa-apa. Aku baik-baik saja." aku tersenyum sambil merangkul pundaknya.

"Berhenti bercanda dan diamlah. Aku akan mengambil kotak P3K."

Aku menahan lengannya, "Nanti saja aku obati sendiri. Sekarang ayo lanjutkan bekerjanya."

"Kau ini-"

"Berani menentang asisten bos?" tanyaku dengan nada sombong dibuat-buat. Bukan karena ingin membanggakan diri, hanya saja dengan begini aku bisa membuat Anis yang super cerewet itu diam.

"Jika sudah bawa posisi seperti itu, aku bisa apa. Huh dasar anak nakal." ucapnya sambil menuntunku kembali ke meja kami. Aku hanya terkekeh saat Anis mengerucutkan bibirnya seperti itu.

Akhirnya, waktu tutup tiba. Aku dan yang lain menghirup nafas lega sambil menghempaskan tubuh kekursi. Hari ini sangat melelahkan.

"Kalian tahu? Ini adalah hari paling panjang dalam hidupku." yang lain terkekeh mendengar keluhanku.

Intuition of Love (to me youre real)Where stories live. Discover now