Perasaan yang aneh (revisi)

75 15 18
                                    

Tapi memang tak ada yang terlihat buruk disini, kondisinya sama seperti gudang lainnya. Hanya ada tumpukkan barang tak terpakai berselimutkan kain warna putih. Lalu apa yang ayah bilang berbahaya benar-benar tak terbukti adanya.

Tunggu dulu, aku penasaran dengan barang yang disimpan di sudut ruangan itu. Seperti peti harta karun yang sering kulihat di acara tv mingguanku. Tak ada salahnya kan sekedar untuk melihat, toh tak ada ayah. Pikirku saat itu.

Langkah kecil ku perlahan tapi pasti membuka peti itu. Berdebu. Tapi tak mengurungkan niatku untuk membukanya lebih jauh. Dan benar saja, tak ada yang salah disini. Peti itu hanya berisi bungkusan bubuk putih seperti NaOH yang dihaluskan dengan sedikit kilapan disana. Waktu itu aku pikir ayah menyimpan gula-gula putih. 

Dan aku bersyukur kala itu pikiranku masih sangat sederhana.

Oke kembalilah pada kehidupan nyatamu, Yuna. Dan berhentilah memikirkan itu. Aku akui aku tak pandai menyembunyikan perasaan dan sebenarnya aku juga tak ingin berpisah dengan mereka. Aku sayang mereka sebagai orang tua yang membesarkanku, bukan orang tua yang tulus merawatku. Sudah lama rasanya aku tak mengenang mereka, cukup dikenang kan? Walau sebenarnya aku tak ingat apalagi yang terjadi saat itu, seingatku aku menjadi tahu yang sebenarnya setelah masuk ke dalam sana.

Tak terasa ternyata matahari sudah merangkak ke singasananya yang agung diatas sana. Tak ada waktu lagi, mari bereskan rumah.

Aku ingin menyanyi, ingin sekali. 

"Sapu-sapu ayo sapu yang kotor~ cuci-cuci marilah cuci yang bersih... Oh sungguh sibuknya~"

"Berisik! Suaramu itu jelek. Kupingku nyaris sobek mendengarnya. Aduuh!" ujar Adnan setengah membentak. 

Hey bahkan aku ragu dia punya kuping, heh. Seenaknya mengatai suaraku jelek.

"Oh aku paham, kau ingin aku menyanyi lebih keras lagi kan? Baiklaaaahh..." baru saja aku membuka mulut, tapi dia sudah menjejaliku dengan kertas yang tak tahu darimana asalnya. Aargh!

"Begitu lebih baik. Haha." 

"Dasar jahaaat tak akan ku beri izin kau mendekatiku lagi. Rasakan ini-" 

"Bagaimana bisa aku tak mendekatimu, kau bahkan selalu memintanya." Adnan menyeringai saat mengatakan itu, lama-lama ia mempersempit jarak diantara kita.

Sapu yang kupegang mau tak mau menjadi sasaranku sekarang, aku mencekramnya begitu kuat sampai buku kukuku menjadi putih. Tapi dia tak juga menjauhkan badannya,aku tak suka kondisi seperti ini... Aku bahkan belum sikat gigi. Apa sekarang...

TAKKK!

"Arrghh... Sakit. Aduduh duh sakit." 

Aw. Aku tak sengaja memukulnya dengan sapu, aku hanya panik. Tapi aku rasa dia tak akan mau mendengar penjelasanku. Lebih baik aku menyelinap saja, ya menyelinap. Benar. 

Maaf ya, hhe.

::::::::

Ah lelahnya, seharian membersihkan rumah dengan gangguan si bodoh ternyata tak mudah. Lihat, bajuku basah semua sekarang. Dan itu semua karena dirinya yang bersikukuh untuk menggantikanku mencuci pakaian, tapi ternyata itu tidak membantuku sama sekali. Dengan seenak jidat ia menambahkan pewangi pakaian sebelum detergent pada baju yang masih kotor dan merendamnya sangat lama. Saat kuberitahu, dia selalu berkata bahwa dirinya mengerti.

Tapi lihatlah apa yang terjadi, dia tak menggubrisnya. Pakaianku yang malang. Saat kutegur dia hanya memberikan puppy eyes-nya membuatku ingin sekali mencubitnya, namun siapa tahu saat aku pergi dirinya justru mengumpat. Dasar.

Intuition of Love (to me youre real)Where stories live. Discover now