Reuni Akbar.

23 9 2
                                    

Aku masih berdiri didepan pintu. Bahkan, dingin gagangnya masih bisa kurasakan. Semuanya lagi-lagi terjadi. Dentingan jarum jam yang berhenti menjadi permasalahan.

Aku memutarkan badan berupaya meyakinkan apakah ini benar adanya atau sekedar ilusi belaka, tapi ternyata kenyataan seakan menusukku dalam-dalam tatkala aku mengetahui bahwa semua memang terjadi lagi.

Aku menarik gagang pintu, disana pula aku melihat lelaki berarah padaku. Lelaki itu adalah lelaki yang kukenal sebagai Rendi.

"Apa lagi ini, Rendi? Kenapa hanya aku dan dirimu yang bergerak?" aku bertanya padanya panik.

"Akan ada yang terjadi nanti. Entah padaku atau dirimu, kuharap jangan pernah lepaskan gelang itu ya." aku mengamati gelang itu, kemudian hanya bisa mengangguk.

"Ah lupakan saja situasi ini, aku sudah terbiasa. Ngomong-ngomong kau tepat waktu sekali." aku duduk dikursi nomor 23.

"Ya begitulah." Rendi mengikutiku, duduk dengan menyandarkan punggungnya. Lengannya terlipat didepan dada sementara matanya memperhatikanku.

"Apa kau sudah mendengar aku akan mengadakan pesta disini?" aku mengangguk. "Sepertinya aku tunda saja dan memutuskan untuk merayakannya nanti."

"Yah kenapa? Jangan seperti itu Ren, kau tak tahu mereka sangat senang dengan rencana pestamu." aku jadi teringat kejadian beberapa saat tadi, mereka antusias sekali dan berbunga.

"Kakaku menolak untuk diajak keluar, dia ingin mengobrol lebih jauh bersama Ayah. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, yang jelas mereka mengusirku." kulihat mulut Rendi melengkung ke bawah dengan ekspresi yang kuyakin dibuat-buat.

Aku tertawa, "Kau tidak diinginkan." kali ini Rendi juga tertawa.

"Em... Sebenarnya ada yang ingin kubicarakan padamu, tentang-"

"Hey ambil kuenya dari open!" aku dan Rendi serentak menoleh ke sumber suara, ternyata semua sudah kembali.

Kami berdua saling memandang dan tertawa melihat Lukman, Kak Jo, Anis dan Kevin sibuk. Sangat sibuk. Apalagi saat Lukman dimarahi Kevin karena telat mengambil kue di open. Kevin mengomel sambil mengelap meja, sedangkan Lukman kumat-kamit tak jelas.

"Rendi, temanku butuh pekerjaan, apa kau masih menerima satu pegawai lagi?" tanyaku langsung pada tujuan awal saat kami kembali saling tatap. Mendengar pertanyaanku mau tak mau membuat Rendi tampak berfikir, dirinya melihat lurus kedalam mataku. Aku menaikkan alis. Menunggu jawaban.

"Mungkin dia bisa menggantikan pekerjaanmu." yang benar saja. Aku melotot padanya yang sedang tergelak karena ekspresiku.

"Kau ingin memecatku?"

Rendi menggelengkan kepala, sementara tawa belum berhenti dari mulutnya, "Maksudku, aku butuh asisten untuk mengurus caffe, tapi daripada memperkerjakan orang yang belum kukenal untuk tugas ini, lebih baik aku memilihmu. Singkatnya kau naik pangkat." tukas Rendi jumawa.

"WOW!" aku refleks setengah menjerit sambil menutup mulut. Rendi kembali tertawa.

***

"Lama sekali..." daripada sebal, wajah Lusi lebih cocok ingin menangis.

"Hey jangan nangis, tadi ada boss dulu." Lusi mengangguk sambil menatap penuh harap.

"Bagaimana?" tanyanya langsung. Aku memutar bola mataku, tak percaya akan perubahan sikap yang terjadi pada temanku yang satu ini.

"Selamat yaaa kau dapat pekerjaan disini. Denganku." dengan antusias aku memeluknya, Lusi juga membalas pelukanku tak kalah erat. Bibirnya tak henti-henti mengucap terimakasih.

Intuition of Love (to me youre real)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang