Sentuhan.

28 8 2
                                    

Abaikan typo. Pengeditan akan dilakukan setelah cerita selesai.

Happy reading....


"Coba katakan padaku, rindu mana yang meminta izin lebih dulu untuk datang?"
.
.
.

"Kau?!" sekali lagi aku melafalkan kata itu. Rasanya sulit dipercaya orang ini ada dihadapanku sekarang. Dengan mie dan kopi ditangannya, orang itu tengah menatapku sambil tersenyum. Tak mempedulikan detak jantungku yang sudah tak normal lagi detaknya.

"Kita bertemu lagi. Mari makan." katanya sambil mengangkat mie sekilas didepanku. Apa aku mimpi? Mungkin iya. Aku menjulurkan tangan untuk menyentuh bayangan dihadapanku ini. Yang tengah meniupi mie dengan serius.
"Tidak boleh. Aku lapar. Kau makan saja punyamu." aku menarik kembali tanganku yang sedikit lagi akan menyentuhnya sebelum lelaki itu menjauhkan mie dari hadapanku. Menggesernya kesebelah kanan tempatnya duduk.

Aku melongo dengan yang barusan aku lihat. Hah, harga diriku tersentil. Dia pikir aku akan meminta makanannya? Lucu sekali. Aku menyeruput mie yang masih setia menggantung bebas diantara bibir atas dan bawahku.

Menyebalkan!

"Kenapa kau disini?" tanyanya.

"Karena aku lapar." aku menjawab seadanya lalu menghabiskan tetes terakhir kuah mie.

"Tidak baik makan mie instan dimalam hari. Kau tidak takut gendut?"

"Kau sendiri kenapa disini? Bukannya tadi juga kau makan mie instan?" Adnan terlihat bingung untuk menjawab. Gelagatnya menunjukkan bahwa dia tak tahu harus menjawab apa.

Lama tak mendapat jawaban akhirnya aku menutup pembicaraan dengan melangkah pergi untuk pulang.
Terlalu banyak kata 'kenapa' dan 'bagaimana' diotakku hari ini. Memikirkan tanpa mendapat jawaban tentu saja bukan perkara mudah.

Adnan berlari sambil senantiasa mengejarku yang sudah sedikit jauh darinya. Aku tak mau menoleh, aku enggan jika harus menata kenangan lagi bersamanya. Karena untuk itu aku harus membayar harga mati dengan berpisah dengannya untuk yang kedua kalinya. Sedini mungkin aku harus menjauh dari apapun yang berkaitan dengannya. Kalau perlu besok aku akan mencari pekerjaan baru. Tapi sebelum itu, aku harus meminta penjelasan terlebih dulu dari Rendi.

"Sampai kapan mau mengikutiku?" tanpa menoleh aku bertanya padanya.

Adnan memasukkan tangan pada saku celana. Bahkan gaya berjalannya pun persis dengan dia beberapa lalu. Harus ku akui cintaku memang datang terlambat, tapi itu tak mengubah definisi cintaku padanya. Seperti ingatanku bersamanya yang tak mungkin berubah.

"Kenapa tadi kau pergi?" aku menunduk dan memilih diam. Angin malam yang menerpa seolah menjadi pelengkap suasana saat ini.

Aku membenarkan anak rambut yang berantakan tertiup angin, menyelipkannya ditelinga. "Aku hanya ada keperluan mendadak. Maaf jika caraku tidak sopan."

"Tak apa. Aku juga datang tiba-tiba saja setelah sebelumnya mengatakan tidak akan datang."

Hening. Tak ada sautan lagi setelah Adnan mengatakan itu. Hanya ada lengkah kaki dan suaranya yang menggesek tanah saat ini. Jujur saja aku tak tahan jika harus berada diantara keheningan. Aku terbiasa memulai pembicaraan saat seperti ini. Tapi ini beda, ini adalah keadaan menjepit. Dimana lidah yang tiba-tiba kelu, pikiran buntu, sampai gugup yang melanda membuatku bingung harus bagaimana.

"Maaf sebelumnya, aku hanya ingin tanya, apa kita pernah bertemu sebelumnya?" langkahku terhenti. Adnan yang melihat perubahanku yang mendadak memilih memotong jalan. Ia berdiri didepanku dengan kening berkerut.

Intuition of Love (to me youre real)Where stories live. Discover now