"Oh ayolah Ray, Ayah belum siap untuk itu. Memilikimu saja ayah seperti merasa punya anak sendiri. Atau perlu aku mengadopsi anak lain?"

Aku meringis, tertawa dalam diam. "Itu akan membuatmu seperti pengasuh." Aku tertawa dalam diam. "Ya—aku hanya ingin melihat Ayahku memakai pakaian pengantin dan aku menjadi pengiring dalam pernikahanmu seperti—melempar bunga di jas mu."

"Yang benar adalah menaburkan bunga," sahutnya meralat ucapanku.

"Hmm yah maksudku begitu."

Ayah tertawa ringan. "Itu akan membuatmu terlihat seperti pelayan sewaan Ray."

Aku dan Ayah tertawa bersamaan. Menghilangkan sejenak kegundahan yang bergelayut seperti awan mendung. Aku terdiam sejenak saat tawa kami mereda. Aku benar-benar berharap bahwa aku bisa bertemu dengannya lagi di hari esok atau kapanpun itu untuk tertawa bersama seperti biasanya.

"Nak, jaga dirimu baik-baik. Tetap hiduplah karena aku sebagai Ayahmu akan selalu membuka pintu untukmu di saat kau selalu ingin pulang," ucapnya lagi dan kali ini kata-kata itu terdengar berat sekali untuk di ucapkan.

Aku tahu Ayah mengkhawatirkanku dan akupun begitu. "Aku akan berusaha untuk tidak mengecewakan Ayah lagi."

"Kalau begitu, selamat berjuang Nak, Ayah selalu menunggu kabar darimu."

Aku mengangguk. "Iya Ayah, do'akan aku."

Aku meletakkan ponselku setelah telepon di tutup dan kini aku menatap langit yang masih sedikit gelap namun juga sedikit terang, menaruh harapan di antara keputus asaan.

"Aku butuh bantuanmu Lee," gumamku.

Aku mengerjap saat suara pintu kamar di ketuk dengan keras.

"Siapa?" sahutku.

Awalnya aku berpikir yang mengetuk pintu adalah Lee, karena aku yakin Ery dan Elis pasti sangat sibuk sekali dengan persiapan ujian hari ini di tambah kondisi Elis yang masih lemah meskipun ia berusaha untuk terlihat kuat. Namun perkiraanku meleset saat kulihat seorang gadis berdiri di depan pintu ketika aku membukanya.

"Kak Valerie?"

Ia tersenyum sejenak. "Ada sesuatu yang ingin ku sampaikan."

Aku terdiam sejenak. Sesuatu yang di sampaikan? "Oh, silahkan masuk kak."

"Oh tidak perlu," tolaknya. "Aku kemari untuk memberitahukan padamu bahwa—Leonel Raffertha tidak bisa datang untuk mendampingi ujianmu."

Otakku seperti berhenti bekerja seketika, entah aku bernafas atau tidak yang jelas aku benar-benar shock dengan kabar ini. "Hehh?" gumamku dengan mulut ternganga.

"Yah, begitulah." Kak Valerie mejadi salah tingkah dengan sikapku. "Hmm—tapi—dia memberikan ini untukmu."

Aku terlalu tercengang sampai-sampai aku tidak menyadari bahwa kak Valerie menyodorkan kotak hitam berukuran sedang. Mataku mengerjap seketika dan aku berusaha untuk kembali berpikir normal namun masih di liputi kebingungan sekaligus merasa tak percaya dengan apa yng kudengar hari ini.

"Apa ini?" tanyaku setelah aku menerima kotak hitam itu.

Kak Valerie mengangkat bahu. "Entahlah, tapi—" ia mengerutkan kening sambil mengamati kotak di tanganku. "Sepertinya benda hidup, karena sepanjang perjalanan membawa kotak itu, aku merasa sesuatu bergerak di dalamnya."

Aku termanggut-manggut sekaligus penasaran.

"Oh satu lagi." Kak Valerie menyodorkan Paper Bag  berukuran sedang. "Dia juga memberikan ini untukmu. Dia bilang kau harus pakai ini selama ujian."

ArcherWhere stories live. Discover now