9. Dia kembali?

6.8K 309 5
                                    

Malam ini adalah malam penting bagi Ali dan Verrel. Mereka di undang dalam salah satu acara yang bergengsi di dunia penerbangan. Para petinggi-petinggi maskapai bertebaran dimana-mana dengan setelan tux biru dongker yang menjadi dresscode malam ini. Ali mengedarkan pandangannya dan jatuh pada Mc yang membuka acara. Sebentar lagi ia akan naik untuk memberi sambutan mewakili Indonesia. Ia memijit pelipisnya pelan. Setidaknya, malam ini saja ia harus mengesampingkan masalahnya dulu.

"Li, maafin gue ya." Verrel yang sudah berada di samping Ali mencoba membujuknya,"Gue tadi cuma bercanda. Lo 'kan tau gue gimana."

"Bener, Li. Sumpah. Gue nggak mungkin suka sama cewek lo. Jelas-jelas ada Sasha, calon pendamping gue. Gue emang playboy tapi gue nggak mungkin nikung saudara gue sendiri." Verrel memasang ekspresi melasnya.

Ali berdecak,"Dimaafin."

"Serius? Berarti lo juga maafin Prilly ya?" Verrel senang bukan main.

"Tergantung," setelah mengucapkan satu kata itu, Ali berjalan untuk berbaur dengan petinggi-petinggi yang berada di ballroom ini. Sejenak, ia melupakan kejadian tadi agar hari ini acaranya berlangsung lancar. Ia tak mau membuat semuanya menjadi kacau karena urusan pribadinya.

Ya, Ali sukses membuat malam ini seperti biasanya. Ia bertingkah seperti Ali yang biasa. Namun Verrel masih dapat menangkap kekecewaan Ali dari ujung matanya yang membuat Verrel semakin merasa bersalah.

■■■
"Do you need some coffee?" tanya salah satu pelayan yang sedari tadi berlalu-lalang untuk melayani para pembeli yany sepertinya tiada habisnya. Berhubung café ini memang terbuka duapuluh empat jam.

Ali mengangguk. Ia sudah meminum dua gelas kopi sejak kedatangannya tiga jam yang lalu. Setelah pelayan itu pergi, Ali kembali menatap keluar jendela. Di luar sedang hujan, sepertinya mengerti dengan suasana hati Ali.

Mungkin bisa di katakan Ali lebay, katakanlah. Tapi inilah yang Ali rasakan. Bagaimana perasaanmu bila kamu kangen berat dengan orang yang kamu sayangi namun tak dapat menghubunginya lalu melihat dia sedang bertelfonan dengan cowok lain dan cowok itu adalah orang terdekatmu. Apa yang kamu rasakan? Itulah yang dirasakan oleh Ali saat ini.

Ali tidak marah pada Prilly, ia hanya kecewa. Ali adalah orang yang jarang marah, bisa dihitung jari kemarahannya. Tapi sekalinya ia marah, susah untuk mengendalikannya. Ali melihat Hapenya yang terus bergetar di atas meja, semuanya dari Prilly. Dengan sekali hentakan napas, Ali mengambil Hape itu lalu menonaktifkannya. Ia butuh ketenangan.

"Ali?" Mendengar orang yang memanggil namanya, Ali mendongak lalu mengernyit. Ia mengenal orang yang kini berdiri di hadapannya. Walaupun sudah lama, ia masih sangat mengingat orang ini. Orang yang sudah membuatnya.. ah, tidak perlu diingat lagi.

"Ali? Aku boleh duduk disini?" tanyanya lagi yang membuat Ali hanya bisa mengangguk pelan.

"Kamu ngapain disini? Lagi liburan?" tanyanya setelah duduk manis di hadapan Ali dengan senyum yang sedari tadi tak pernah pudar dari wajahnya.

Ali akhirnya angkat bicara."Gi, lo ngapain disini?" Gia menaikkan sebelah alisnya, merasa aneh dengan nada bicara Ali yang terkesan dingin dan ketus. Namun Gia tetap melanjutkan, ia tak akan pernah bosan jika sudah mengobrol dengan Ali walaupun Ali hanya akan menjadi pendengar."Kenapa? Kamu nggak mau ketemu aku lagi?"

Ali menghela nafasnya dalam lalu menghembuskannya."Nggak," Ali menatap keluar jendela dan melanjutkan ucapannya."Lo ngapain disini?" sambungnya.

Gia terkekeh, ia merasakan kecanggungan yang tercipta sekarang. Berbeda dengan tujuh tahun yang lalu, mereka tidak pernah merasakan kecanggungan yang seperti ini.

"Gue? Liburan disini sekalian ngurus butik gue yang ada disini. Lo sendiri?" Ali hanya mengangguk kecil mendengar penuturan Gia. Dia memang tahu bahwa gadis itu memiliki impian untuk membuka butik dan akhirnya terwujud.

"Kerja." balasnya singkat lalu tersenyum tipis pada pelayan yang datang dengan membawa kopi pesanannya. Semakin cepat ia menghabisi kopi ini, semakin cepat juga dia bisa keluar dari tempat ini.

Gia membelalakkan matanya lalu memegang kedua pundak Ali dan mengguncangnya pelan."Jangan bilang lo udah jadi.. pilot?"

Ali hanya dapat mengangguk karena itulah kenyataannya. Tangan Gia beralih menangkup kedua pipi Ali membuat Ali semakin risih."Selamat sayang! Selamat ya. Aku ikut bangga sama keberhasilan kamu. Akhirnya impian kamu terwujud. Impian aku juga terwujud. Sekarang, kita bisa meneruskan hubungan kita. Lupain semuanya, kita wujudkan mimpi-mimpi kita." Wajah Gia berubah seratus delapanpuluh derajat."Maafin aku sayang, aku memang salah. Percaya, aku sama-

Ali beranjak, membuat tangan Gia yang berada di pipinya terjatuh dan mengenai gelas kopi Ali yang masih sangat panas membuat gadis itu meringis.
Ali tak peduli, ia menatap tajam gadis di hadapannya."Jangan pernah lo bahas masalah itu lagi, itu cuman masa lalu! Nggak perlu diinget. Gue juga udah muak. Dan ingat satu hal lagi, jangan pernah panggil gue dengan sebutan menjijikkan itu." Ali memperbaiki kerah tuxnya lalu mengambil Hapenya yang berada di atas meja."Gue udah punya pasangan dan kita akan menikah. Stop untuk ganggu gue. Gue harap lo juga bisa nemuin pasangan lo."

Setelah mengucapkan hal itu, Ali berjalan menuju kasir lalu keluar dan menghilang dari balik pintu café. Gia hanya mampu menatap punggung lelaki itu dengan wajah muramnya namun sedetik kemudian, senyum miring tercetak jelas di wajahnya.

Gia menekan beberapa digit nomor lalu meletakkannya di telinga kiri.

"Halo," sahut lelaki di seberang sana.

Gia tersenyum senang."Gue udah ketemu Ali."

"Terus? Jangan bilang lo mau ngambil dia lagi? Sadar, Gi. Ali udah punya kehidupan sendiri. Jangan gila deh lo,"

Gia tertawa hambar,"Gue gak peduli. Dengan cara apapun gue akan lakuin demi membuat Ali balik sama gue. Termasuk dengan cara yang udah gue susun."

"Dan lo mau libatin gue? Nggak ya, Gi. Gue nggak mau ikutin rencana gila lo."

Gia tersenyum miring,"Lo tunggu aja tanggal mainnya." Ia melirik jam tangan yang bertengger di tangan kanannya."Good night, Babe. I love you, Mantan."

Setelah itu, Gia memutuskan sambungan secara sepihak lalu berjalan meninggalkan secangkir kopi dengan asap yang masih mengepul di meja yang tadi di dudukinya bersama Ali.

Siapa Gia? Ada urusan apa dengan Ali? Siapa juga yang di telfon Gia? Rencana apa yang akan disusunnya? Semuanya akan terjawab nanti. Wkwkwkw.. di tunggu Voment ya..

Happy Reading ...

My Gorgeous Captain!Where stories live. Discover now