Reason To Rebel: Orang Tua Adalah Ospek Abadi

3.4K 864 211
                                    

Setelah acara pembagian raport selesai, aku segera menuju ke mobilku dan meluncur ke rumah. Mamaku dan mobilnya entah kemana, mungkin ke arisan terdekat bersama koleganya.

"Den, anak laki kok nangis? Nilai den bagus-bagus kan pasti. Tiap semester bawa piala terus lagi. Bapak lihat setiap hari kamu belajar," ujar supir pribadiku.

"Emangnya anak laki-laki nggak boleh nangis!" raungku marah.

Namun aku terus terisak sepanjang perjalanan pulang. Mamaku gila, baru pertama kali ada seorang ibu yang tidak bangga dengan rekor bersih anaknya di sekolah. Kalau juara umum masih tidak cukup untuk mama, apakah aku harus jadi kepala sekolah biar mama bangga?

"Ya, boleh sih ... cuma kan aden udah bagus pencapaiannya. Bikin mama bangga, ini tangis bahagia, kan?" tebak pak Supir.

"Bahagia apanya, masa tadi mama bisikin ke a ... ak ...," ujarku terputus berusaha menahan tangis mengingat bisikan mama tadi.

"Yah, namanya juga orang tua, den. Orang tua mah ospek abadi, hari-hari yang dijalanin emang kadang nyebelin tapi kalo udah nggak ada mah ngangenin, den. Sabar aja, mamanya aden kan emang orangnya gitu ya."

.....

Menjadi wanita dan seorang ibu menjadi tanggung jawab yang aku emban selama ini. Nara merupakan putra yang sempurna. Dia tampan, cerdas, dan rajin-menurun dari ayahnya.

Namun, satu hal yang tidak pernah aku lihat. Ia tidak punya kehidupan.

Di saat anak-anak lain memilih bermain, jajan ke kantin atau mengobrol; ia memilih untuk diam dan belajar di dalam kelasnya.

Aku rasa tidak ada seorang anakpun yang dikenalnya. Kasihan rasanya melihat anak sendiri yang memang kehidupannya selalu di atas namun strata sosialnya sangat keterbelakangan.

Ia butuh kehidupan.

"Bu, kita sudah sampai." Terdengar suara pak supir membangunkanku dari lamunan.

.....

"Selamat ya, jeng. Nara emang tokcer banget deh, udah pinter, ganteng, rajin, sholeh lagi," puji teman dari kelompok arisanku.

Aku hanya tersenyum simpul dan berterima kasih.

"Ih, anak eyke apaan. Kalo disuruh belajar tuh ya, diunyel-unyel dulu sampe harus ditarik dari depan gadgetnya baru deh belajar."

"Anak eyke juga cyin, senengnya tuh sama korea-korea gitu. Kerjaannya kalo ngumpul cewek-cewek sukanya teriak 'opa-opa!' gitu."

"Siga si tetehnya keluarga cemara gening anak sekarang mah, sukanya jualan opak. Tapi asa dulu mah opak teh makanan ya, bukan laki-laki ya, teh?" ujar ibu-ibu yang lain.

"Ih, teteh mah. Opa-opa teh jaman urang mah epse-epse meteor garden. Sekarang mah tapi sok mahal harga-harga barang opa-opa teh, maenya senter warna warni harganya lima ratus. Kajeun bayar sakola atuhnya."

"Eh, mama Nara kenapa diem aja atuh?"

"Mama Nara mah mau ngeluh teh bingung anaknya perfect. Jagoan ngerawat anak teh. Bagi-bagi tipsnya atuh jeung kumaha biar pinter gitu. Bimbel dimana Nara teh?" ujar salah satu ibu berusaha mengajakku dalam pembicaraan.

"Anak saya bimbelnya di Bintang Sobo, teh."

Melihat teman-temanku rasanya iri. Anak mereka memang tidak sempurna dan tidak semuanya menduduki peringkat teratas. Akan tetapi, setidaknya hidup mereka memiliki minat dan kebahagiaan masing-masing.

Tidak seperti anakku.

Yang seperti zombie.

Lifeless.

Mama Told Me To Rebel (EDITING)Where stories live. Discover now