6. Untittled

365K 10.1K 1.6K
                                    

Devan POV

Aku menekan bel untuk kesekian kalinya dengan tidak sabar. Kemana sebenarnya penghuni apartemen ini? Aku yakin dia tidak pergi atau dia pura-pura tidak mendengar karena ini aku? Tapi aku sudah berjanji, aku tidak akan beranjak dari apartemen ini sampai aku bisa berbicara dengannya. Walaupun harus menunggu berjam-jam, aku tidak akan menyerah.

Setelah bunyi entah untuk yang ke berapa puluh kali, akhirnya aku mendengar suara derap langkah yang berlari dari dalam apartemen. Derap yang terdengar semakin mendekat. Kemudian terdengar bunyi kunci yang diputar dan pintu pun terbuka.

"Siapa ... Devan?" seru Seika dengan kaget.

Dia menggunakan bathrobe putih yang menutupi tubuhnya hingga lutut dan rambutnya yang masih basah tergerai begitu saja. Beberapa helai rambut menempel di wajahnya yang juga masih lembab. Dia tetap terlihat cantik walaupun dalam keadaan seperti ini dan bila lelaki lain, aku yakin mereka akan langsung bergairah melihat penampilan Seika saat ini. Tapi anehnya aku tidak. Aku memang tidak pernah bergairah melihat wanita selama ini. Mau dia berpakaian lengkap, minim, atau telanjang sekalipun.

Walaupun aku tidak tertarik dengan tubuh wanita, bukan berarti aku tertarik dengan tubuh lelaki. Aku juga tidak mengerti. Sejak sekolah dulu, saat teman-temanku -Roy, Fahmi, dan Radja- sudah aktif secara seksual, aku bahkan tidak pernah memikirkan hal itu sama sekali. Di saat mereka menyodorkanku gadis-gadis seksi yang menggoda, aku tidak pernah bisa merasakan gairah seperti yang mereka bilang. Hingga saat ini. Tidak ada wanita yang pernah bisa membuatku merasakan sensasi aneh itu. Yang katanya akan membuat sesuatu diantara selangkanganmu terasa nyeri. Mungkin ada yang salah dengan diriku.

"Sebaiknya kamu berpakaian dulu. Aku menunggu di luar"

"O-Oke"

Seika menutup pintu dan sepertinya bergegas ke kamarnya karena aku bisa mendengar suara kakinya yang berlari. Tidak lama kemudian, dia kembali membuka pintu dan mempersilahkan aku masuk. Ini kedua kalinya aku ke apartemen ini. Tidak ada yang berubah, tetap rapih dan bersih.

"Kamu mau minum apa?" tanya Seika yang berdiri tidak jauh dari sofa yang aku duduki sambil meremas-remas ujung bajunya. Dia gugup seperti biasa. Bahkan setelah bertemu denganku beberapa kali dia masih seperti itu.

"Aku tidak lama"

"Oh" Dia terlihat lega namun juga kecewa dengan jawabanku. "Lalu ada apa? Aku kira kamu tidak akan menghubungiku lagi. Setelah ... yah kamu tahu. Kamu tidak pernah lagi menghubungiku. Aku kira ... kamu marah"

"Aku tidak berhak marah padamu. Aku bukan siapapun" kataku dengan dingin.

Seika tersenyum kecil dan menatapku dengan mata berkaca-kaca. Oh, please. Jangan menangis lagi.

"Aku kira ... kita ... teman" katanya dengan tersendat-sendat.

Wanita ini, di usianya yang sudah 30 tahun kenapa masih seperti anak kecil? Selalu saja menangis dan menunduk ketakutan. Apa dia tidak bisa bersikap layaknya wanita dewasa?

"Sudahlah, itu tidak penting" kataku memotong dengan cepat. Aku tidak ingin membahas hal itu. "Aku ke sini karena Tante Intan memintaku untuk mengecek keadaanmu. Katanya kamu tidak pernah mau ke rumah mereka. Kenapa?" tanyaku sambil melihatnya dengan teliti.

Aku memang diminta Tante Intan untuk memastikan kondisi Seika. Seika sudah dua minggu ini tidak menampakkan diri di rumah mereka. Seika selalu beralasan sedang tidak enak badan atau mengurus persiapan pernikahannya. Tapi Tante Intan tidak percaya begitu saja, Tante merasakan Seika dan Ares sedang menyembunyikan sesuatu.

Aku sebenarnya menduga alasan Seika tidak pernah muncul. Tubuh Seika sebelumnya yang dipenuhi lebam dan luka tidak akan mungkin dia perlihatkan pada keluarga lelaki yang membuatnya seperti itu. Bisa kena serangan jantung nanti Om atau Tante. Namun, melihat kondisinya saat ini yang sudah pulih dengan luka di tangan dan wajahnya yang sudah tidak tersisa, seharusnya tidak akan menjadi masalah bagi Seika.

[4] My Lady [SUDAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang