[Dua] : Izinkan Aku Melepas

6.2K 285 1
                                    


Pagi ini, seperti biasa Zahra sarapan di kosnya bersama Laras-sahabat sekaligus teman se-kosnya-


"Ras, berangkat ke kampusnya nanti bareng ya," kata Zahra.


"Tumben," kata Laras sambil menyendok nasi uduk favoritnya. "Biasanya juga bareng Alfath, kan," nadanya agak menyindir sambil melirik Zahra.


Ekspresi Zahra agak berubah ketika Laras menyebut nama 'Alfath'.


"Kalian lagi marahan, Ra?" selidik Laras.


"Kenapa, sih, Ras? Bukannya kamu yang hampir setiap hari nasihatin aku? 'Zahra, kamu itu jangan pacaran. Pacaran itu dosa. Jangan sampai cinta yang termasuk anugrah dari Allah tidak suci lagi, kamu lalai menjaga cinta itu. Kamu lalai menjaga perasaan kamu' iya kan, Ras?" Zahra menirukan gaya bicara Laras yang biasa mengingatkannya.


Laras diam sebentar. Sesaat kemudian ia tertawa kecil atas apa yang diucapkan sahabatnya.


"Apanya yang lucu?"


"Jadi.. Kalian udahan? Udah putus maksudnya," kata Laras.


Zahra mengangguk menyatakan 'iya'


"Kenapa?" tanya Laras.


"Kamu aneh banget sih, Ras. Sekarang kamu malah tanya kenapa. Kamu nggak dukung keputusan aku? Padahal kan kamu yang tiap hari ngasih nasihat ke aku."


"Iya aku tau. Aku kan cuma tanya. Kenapa kamu ambil keputusan itu? "


"Aku sadar. Waktuku kebuang sia-sia selama ini. Bahkan apa yang aku lakukan berbuah dosa, kan? Seperti yang kamu bilang, Ras. Aku pengen menjaga kesucian cinta yang Allah beri. Cinta itu anugrah, tapi tidak jika kita menempatkannya pada hal yang salah.


"Jika kita memang berjodoh, pasti kita akan dipertemukan oleh Allah entah bagaimana caranya. Selalu ada cara bagi Allah untuk menyatukan dua insan yang berbeda. Bukan begitu Ustadzah?" Zahra mengerlingkan matanya sambil melirik Laras.


Tiba-tiba Laras memeluknya sangat erat. "Aaaaaa Zahraa, kamu udah balik. Ini baru Zahra yang aku kenal!"


"Se-sak-na-pas Ras!" kata Zahra terbata-bata.


"Eh, iya maaf Ra, hehe," Laras melepas pelukannya. "Inget nggak? Bahkan nasihat yang biasanya aku bilang ke kamu itu, yang ngajarin juga kamu loh, Ra. Aku sedih semenjak tau sahabat aku pacaran. Tapi ya aku berusaha sebisaku buat nyadarin kamu. Selebihnya aku tawakkal sama Allah."


"Makasih ya, Ras. Semoga kita bukan hanya sahabat di dunia. Tapi sahabat sampai surga."


"Aamiin. Ya udah berangkat, yuk."

***

Proses yang lebih berat dari hijrah adalah istiqomah. Bagaimana caranya kita harus bertahan di atas kebaikan, meskipun banyak cobaan, celaan, dan kesulitan yang menghampiri kita.


Allah memberi kita cobaan karena Allah Mahatahu kita pasti bisa melaluinya. Karena Allah telah berjanji bahwa Allah tidak membebani seorang hamba melebihi dari kemampuan hamba tersebut. Dan kita harus yakin, bahwa janji Allah itu pasti.


Siang ini setelah sholat dhuhur di masjid universitas, Zahra duduk di tangga masjid sambil menunggu Laras yang sedang di kamar mandi. Sambil menunggu Laras, ia me-muraja'ah hafalan surah yang baru saja dia hafalkan kemarin. Surah Maryam.


Baru beberapa ayat yang ia baca, seseorang memanggilnya.


"Zahra."


Zahra sangat hafal dengan suara itu. Bahkan suara itu adalah suara yang paling tidak ingin ia dengar saat ini. Karena pemilik suara itu adalah.. Alfath.


"Maaf saya harus pergi," ujar Zahra tanpa memandang Alfath.


"Tunggu sebentar," tahan Alfath.


"Zahra ayo kita--" perkataan Laras terhenti ketika melihat Alfath yang berdiri beberapa langkah di hadapannya.


Laras melihat Alfath sedang berbicara dengan Zahra yang ada beberapa langkah dihadapannya juga. Zahra hanya menatap ke depan. Ia tak ingin melihat Alfath. Menoleh pun tidak.


"Zahra, sa.. saya ingin berterima kasih dan juga minta maaf," entah kenapa Zahra merasa asing Alfath berbicara dengan nada formal. "Terima kasih sudah menyadarkan saya. Perkataanmu kemarin benar. Maafkan saya yang selama ini membuat kamu sakit menahan semua ini. Maafkan saya, Ra. Apa yang kamu katakan kemarin akan selalu saya ingat dan saya jadikan pelajaran berharga dalam hidup saya."


Zahra tidak menyahut. Ia lebih memilih untuk melanjutkan langkah kakinya. Ia ingin segera bergegas meninggalkan Alfath. Alfath pasti tidak melihat, bahwa air mata Zahra sudah jatuh satu. Ia tak ingin tangisnya semakin menjadi-jadi.


Zahra sudah berjanji untuk menyerahkan urusan cinta hanya kepada Sang Maha Cinta. Ia tidak boleh menangis hanya karena cinta yang tidak pasti ini. Ia tahu rasa ini pastilah hanya fatamorgana yang membuatnya lalai.


"Zahra, tunggu aku," kejar Laras dari arah belakang.


Di ruang kuliahnya Zahra menenggelamkan wajahnya diatas kedua tangannya yang dilipat di atas meja. Jilbabnya sudah basah. Ia berulang kali mengambil nafas dalam-dalam dan membuangnya perlahan. Ia ingin segera tenang dan tidak larut dalam kesedihan.


"Istighfar, Zahra.." ujar Laras sambil mengelus pundak Zahra. Zahra melantunkan istighfar berulang kali.


"Melepas itu ternyata susah, Ras," ia mengadu meskipun belum memperlihatkan wajahnya.


"Iya aku tahu. Sabar dan tetap istiqomah, ya," Laras masih mengelus pundak Zahra. Ia mendengar Zahra masih terus melantunkan istighfar.


Sesaat kemudian Zahra menghapus air matanya dan memandangi Laras.


"Aku dah lebih tenang," kata Zahra sambil tersenyum.


"Ra.. Lebih baik kehilangan sesuatu karena Allah daripada kehilangan Allah karena sesuatu. Iya, kan? Kasih sayang Allah itu segalanya, Ra. Jika kita bisa menangis karena ciptaan-Nya, bagaimana dengan cinta kita sama Allah? Apa cinta kita sama makhluk-Nya melebihi cinta kita pada Sang Pencipta? Jangan sampai.."


"Iya, Ras, kamu bener. Cinta kita sama Allah harus melebihi cinta kita dari segalanya, kan?"


Laras mengangguk. Ia tersenyum melihat sahabatnya yang juga ikut tersenyum.

Jazakumullahu Khairan Katsira :)

Love And FaithWhere stories live. Discover now