Kenapa pegang-pegang penggaris gue?

Mulai dari awal
                                    

Kelas sedang ramai tapi aku merasakan sepi. Via pergi tidak tahu kemana. Dan dibarisanku ini hanya tersisa aku dan satu cowok yang tadi bertanya padaku. Ingin belajar tapi sudah males. Padahal aku sudah mengeluarkan semua peralatan tulisku.

Tiba-tiba cowok yang ada didepanku berbalik menghadap kearahku.

"Gue Adam."

Aku melihat kearahnya dengan tatapan aneh. Tapi mau tak mau aku membalasnya.

"Gue Lily."

Dia tertawa pelan, "sumpah, muka lo jutek banget."

Aku mengerutkan dahinya. Orang jutek kok diketawain? Aneh deh.

"Iya apa? Sorry ya muka gue emang gini." Ucapku lagi. Sebenarnya aku merasa kurang nyaman, tapi setidaknya ada satu orang yang bisa aku ajak bicara.

"Iya. Jangan jutek-jutek makanya, gue yakin banyak yang mau ajak lo ngobrol tapi takut gara-gara lo jutek." Adam kembali tertawa pelan melihat kearahku. Apa sih yang lucu dari mukaku sampai dia tertawa terus daritadi? Lagian, orang takut sama aku? Yang ada aku yang takut sama mereka.

"Tapi lo gak takut tuh sama gue."

"Ngapain takut sama sesama manusia? Takut tuh sama Allah."

Oke. Dia mungkin emang tipe-tipe cowok yang nantinya akan masuk ekskul rohis atau semacamnya. Aku hanya mengangguk pelan lalu kembali terdiam. Dia pun sepertinya tidak tahu ingin membicarakan apa lagi padaku, jadinya dia membalikkan badannya dan memilih membuka buku latihan soal.

Tak terasa waktu tes pun hampir tiba. Via yang sedari tadi menghilang pun kembali masuk kedalam kelas.

"Lo kemana aja daritadi?" Tanyaku padanya.

"Itu, gue lagi nanya anak-anak lain yang minat masuk OSIS."

"Oh? Udah bisa daftar emangnya?"

Via mengangguk, "udah. Nanti pulang sekolah katanya ngumpul dulu didepan tiang bendera."

Aku pun mengangguk pelan. Ya, Via memang terkenal aktif sejak SMP. Berbanding terbalik denganku yang tidak berani mengikuti ekskul atau organisasi semacam itu.

"Lo gak mau nyoba?"

"Hah? Nyoba apa? Daftar OSIS?"

"Iya lah. Emang gak mau?"

"Gak ah. Gue takut sama kakak kelasnya."

Via hanya tertawa mendengar jawabanku. Lagian itu memang benar. Aku takut dengan semua orang, bahkan dengan teman seangkatanku sendiri.

Tes pun dimulai. Kelas pun tenang. Aku mulai membuka lembaran soal yang sudah dibagikan dan yang pertama aku kerjakan adalah matematika. Tapi selama 2 jam aku tidak menemukan kesulitan yang berarti. Ya semoga aja aku bisa mendapat kelas yang terbaik nantinya.

Waktu tes pun berakhir tapi kami belum diperbolehkan pulang. Akhirnya waktu itu digunakan anak-anak untuk istirahat dan jajan kekantin. Via sudah lebih dulu meninggalkan kelas. Dan kelas pun kembali sepi, karena hanya tersisa beberapa orang saja termasuk aku dan Adam.

Iya, dia tetap dibangkunya. Entah kenapa aku merasa awkward. Mungkin karena percakapan singkat kami tadi.

Aku memutuskan untuk memejamkan mata sebentar sembari menunggu jam pulang.

Namun baru sebentar, aku merasa Adam membalikkan kursinya kearahku. Aku mengangkat kepalaku dan melihat tangannya yang memegang penggarisku yang bergambar tulisan 'One Direction'.

"Kenapa pegang-pegang penggaris gue?" Tanyaku langsung. Dia hanya menaikkan sebelah alisnya sambil membolak-balikkan penggaris itu.

"Suka 1D?"

Aku terkejut dia mengetahui One Direction. Seketika aku merasa sangat antusias.

"Lo tahu?!" Tanyaku terlalu bersemangat.

Bagaimana tidak? Jaman sekarang, anak-anak cowok pasti mengatakan kalau 1D itu banci lah, gay lah, ini lah, itu lah. Pokoknya selalu ngejudge bahkan mereka hanya tahu nama tanpa tahu lagu-lagunya. Mengetahui ada cowok yang menyebut '1D' tanpa embel-embel menghina membuatku senang.

"Tahu lah. Lo kira gue tinggal dibawah batu?"

"Ya kirain gitu lo gak tahu."

"Sejak kapan lo ngefans sama mereka?"

"2012 mau ke 2013 kayaknya. Kenapa?"

Adam kembali tertawa, "sekalinya ngomongin 1D aja muka lo anteng banget. Padahal tadi gue ngomong biasa aja tapi muka lo jutek banget. Dasar cewek."

Aku tersenyum lebar, "ya iyalah. Gimana gak seneng kalo ada yang ngomongin tentang pacar-pacar gue?"
Adam lalu mengembalikan penggarisku yang daritadi dia pegang. Dia pun mengangguk-angguk seperti mengetahui satu hal.

"Pacar ya? Yakin gue, nanti satu atau dua tahun lagi lo gak bakal excited gini kalo ngomongin mereka."

Aku merasa tersinggung, bagaimana bisa dia ngomong gitu?

"Gak bakal!" Ucapku menggebu-gebu.

"Yakin banget?" Tanyanya dengan nada yang meremehkan.

"Yakin."

"Masa?"

"Iya lah!"

"Jangan takabur. Nanti kemakan sama omongan lo sendiri loh." Ucapnya kalem.

"Ih jangan gitu. Gue bakal tetep suka sama mereka sampe gue kuliah." Ucapku mantap.

"Sampe kuliah doang? Katanya yakin banget tapi kok dibatesin gitu sukanya?" Ucapnya masih tenang.

Kenapa sih cowok ini? Kayak menguji kesabaran banget. Bikin kesel deh.

"Ya terus harus sampe kapan gue sukanya?"

Dia menatapku dengan wajah bingung, "lah 'kan yang suka itu lo, kenapa nanya gue? Itu namanya lo gak yakin dong."

"Tahu ah!"

"Lah kesel dia, hahahaha." Ucapnya sambil tertawa.

Baru saja aku ingin membalas perkataannya, pengumuman pulang pun berbunyi. Dengan buru-buru aku memasukkan semuanya kedalam tas dan mengeluarkan uang 2000 untuk membayar parkir dan juga kunci motor.

"Ly,"

Aku mendongakkan kepalaku saat Adam memanggilku.

"Kenapa?" Tanyaku. Mungkin dia kembali melihat muka jutekku sehingga dia tertawa.

"Mood cewek emang berubahnya cepet banget ya."

"Mau ngomong apaan?" Tanyaku kembali menghiraukan ucapannya barusan.

Dia tersenyum, "cuma mau bilang, seneng bisa ngobrol bareng sama lo. Semoga kita sekelas." Setelah itu dia bangkit dari kursinya dan melambaikan tangannya kearahku saat sudah sampai didepan pintu kelas.

"Duluan, Lily!" Ucapnya lagi sebelum akhirnya menghilang dibalik kerumunan anak-anak lainnya.

Tanpa sadar aku tersenyum.

Ya, semoga aja kita sekelas ya, Dam.

TAMAT.

[SS • 2] - PenggarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang