01

27.8K 2.1K 38
                                    


Aku mencoba menahan tangisanku. Kualihkan fokusku ke langit biru yang terbingkai oleh jendela  yang jaraknya cukup dekat dari tempat tidur pasien yang kududuki. Samar-samar kulihat pantulan diriku di kaca jendela itu.

Rambut cokelat sebahu dan kulit putih yang agak pucat menurutku. Lalu wajah yang sangat mirip dengan Mommy-ku.

Dan kali ini aku sibuk memperhatikan pantulan diriku di bandingkan langit musim panas yang teramat cerah. Aku berusaha untuk tak merasakan sakit pada luka sobek di balik perban yang melilit di lutut kiriku. Sakit karena efek dari obat bius yang dokter berikan padaku sudah mulai menghilang.

Sesekali aku meringis. Namun sejujurnya aku sangat ingin menangis.

Jill tidak boleh menangis! Karena jika Jill menangis, maka Jean dan Marie akan menangis jauh lebih keras.

Ya. Jill tak boleh menangis!

Aku masih mengingat kata-kata itu. Aku tak boleh menangis. Sebagai anak perempuan tertua aku harus mencontohkan kepada Jean dan Marie--dua saudaraku yang lain--jika aku bukanlah anak yang mudah menangis.

Selain Jean yang merupakan saudara kembarku dan Marie, saudara perempuanku yang paling muda, aku memiliki seorang kakak lelaki tertua yang usianya berjarak enam tahun dariku.

Tak sepertiku yang memiliki wajah seperti Mommy, ataupun seperti Jean dan Marie yang sangat mirip dengan Daddy. Ia berbeda, sama sekali tak memiliki kemiripan dengan kedua orang tuaku.

Aku masih menatap pantulan diriku. Jujur saja, aku mulai bosan berada di tempat ini sejak tiga jam yang lalu. Tepat ketika aku terjatuh pada kelas olahraga. Lututku terluka dan aku mengeluarkan banyak darah. Untunglah beberapa teman lelakiku dengan sigap membawaku ke ruang kesehatan ini. Aku cukup heran mengapa aku harus diantar oleh lima anak lelaki  menuju ruang ini.

Kali ini, aku berusaha untuk terlelap, namun kelopak mataku tak mau tertutup. Tentu saja itu karena aku belum sama sekali melakukan ritual utamaku sebelum tertidur. Aku harus mendengarkan sebuah dongeng sebelum aku terlelap. Itu merupakan kebiasaan bagiku. Mungkin sedikit aneh untuk anak perempuan berusia lima belas tahun sepertiku, dikala teman-teman wanitaku yang lain terlelap karena menunggu balasan pesan singkat dari anak lelaki incaran mereka, seorang Jillian Reed harus dibacakan sebuah dongeng pengantar tidur. Sangat aneh, namun seperti itulah diriku.

Lalu kuarahkan tatapanku ke arah pintu ruang kesehatan. Kuharap seseorang segera menjemputku untuk pulang ke rumah. Sangat tak mungkin  aku bepergian seorang diri dengan sebuah taksi dengan kondisi kakiku yang terluka seperti ini.

Beberapa saat kemudian pintu yang sesari tadi kupandangi pun bergerak terbuka perlahan. Tak salah lagi! Pasti seseorang yang akan menjemputku telah tiba. Seseorang yang selalu menasehatiku agar tak menjadi anak perempuan yang mudah menangias. Seseorang yang setiap malamnya membacakan dongeng untukku.

Dan seseorang yang tak mirip dengan Mommy ataupun Daddy.

Kulihat sesosok pria berambut cokelat muncul dari balik pintu. Seorang yang sangat kutunggu!

Kutarik sudut bibirku, aku tersenyum lebar.

"Leon." Ucapku.

"Jill..." Balasnya.

***

Tbc.

Akhirnya bisa up...
Sorry guys ngaret upnya, ponselku tewas.. wkwkwk

Btw selamat hari raya idul fitri ya... Mohon maaf kalau aku punya salah ;) happy long long long holiday ;)

Besok ketemu lagi ya mudah2an ;)

jil(L)eonDonde viven las historias. Descúbrelo ahora