38

61 7 0
                                    


Kiara membaringkan tubuhnya di atas kasur. Hatinya terasa sesak. Pikirannya dipenuhi oleh bayangan Gilang. Mengapa ini terjadi? Bagimana bisa seorang Gilang yang begitu ceria dan tengil menyimpan luka itu?

Tak lama, suara ketukan pintu membuat Kiara bangun. Dia duduk di tepi kasur. Tante Rini memasuki kamarnya dengan membawa semangkok bubur.

"Makan dulu, Ra," kata Tante Rini ramah. Dia meletakkan nampan di atas meja dan duduk di tepi kasur, di samping Kiara.

"Gimana keadaan Tante?" tanya Kiara. Siang tadi sepulang sekolah, Kiara terkejut saat mendapati Tante Rini sudah berada di rumahnya. Ternyata, wanita itu sudah dinyatakan sembuh dan keluar dari rumah sakit. Kiara merasa senang, namun tetap saja ada yang kurang. Dia merindukan Gilang. Merindukan hal-hal konyol yang sering dilakukan laki-laki itu.

"Tante udah sehat. Kamu sendiri kenapa? Hari ini kamu keliatan murung," ujar Rini. Dia tahu Kiara ada masalah, terlihat dari raut tak bersemangat gadis itu. Sepulang sekolah hingga malam pun, Kiara hanya mengurung diri di kamar.

Kiara mengembuskan napas. Rasanya berat untuk menceritakannya. "Gimana perasaan Tante kalo—"

Kalimat Koara terpotong kala mendengar suara berisik dari lantai dasar. Keduanya spontan berdiri dan beranjak keluar kamar untuk mengetahui apa yang terjadi.

"Ngapain Papa balik lagi, hah?!" teriak Abi, murka. Matanya melotot tajam memandangi Riko yang baru saja tiba.

"Kamu salah paham—"

"Udahlah, Pa! Nggak perlu dijelasin lagi," sergah Abi.

Kiara dan Rini langsung melerai keduanya. "Kak, lo apa-apan, sih? Lo tuh nggak seharusnya kayak gini ke Papa." Kiara melirik Riko yang masih berdiri mematung. "Papa bisa jelasin, kan?" pinta Kiara. Ia merasa inilah waktunya untuk menyelesaikan masalah keluarganya.

"Gue nggak mau denger!" ujar Abi ketus.

"Bi, kamu tenang dulu. Dengerin Papa kamu ngomong, ya," kata Rini lembut sambil mengusap pelan bahu Abi yang tampak bergetar menahan emosi.

Mendengar itu, Abi akhirnya menurut. Ia duduk di sofa, begitu pula Kiara, Rini dan Riko. Semuanya kini menatap Riko. Lelaki itu menghela napas sebelum menceritakan kesalahpahaman yang telah terjadi serta alasannya keluar negeri.

***

"Lang, tadi siang, Kiara datang jenguk kamu."

Gilang yang sementara mengamati pemandangan malam hari dari jendela kamar rumah sakit, seketika menoleh pada Farah. "Kiara dateng?"

Farah mengangguk. "Dia cantik, ya .... Dia juga manis. Tadi, Mama sempat ngobrol-ngobrol sama dia."

Gilang tersenyum samar. Selanjutnya dia menyipitkan matanya. "Mama ngomong apa aja sama dia? Jangan bilang kalo Mama juga ceritain soal penya—"

"Iya." Farah meletakkan buah yang telah ia kupas ke atas nakas. "Mama cerita semuanya. Dia sedih, Lang."

Gilang mengusap wajahnya. "Mama gimana, sih? Gilang, kan, udah bilang, jangan—"

"Kenapa?" Lagi-lagi Farah memotong ucapan Gilang. Ia cukup lelah dengan sikap Gilang yang begitu keras kepala. Farah pula yang menceritakan soal penyakit Gilang pada Rian dan Bobby hingga sempat membuat Gilang begitu marah pada saat itu. "Kalian lagi marahan, ya?" tebak Farah saat Gilang masih terdiam.

"Iya."

Farah geleng-geleng kepala. "Kiara bilang, besok dia mau datang jenguk kamu lagi."

Gilang menghela napas panjang. Diambilnya ponselnya yang bergetar di atas nakas.

Kiara : Get well soon, Lang. :)

Kiara : Besok gue akan datang jenguk lo lagi.

Kiara : Lang ... nggak tau kenapa, gue pengin banget ke air terjun bareng sama lo. Gue harap lo cepet sembuh, ya...

Kiara : I Love you

Gilang tersenyum semringah. Ia tak tahan lagi mendiami Kiara. Diketiknya dengan cepat pesan untuk Kiara, namun baru mengetik beberapa huruf, ponselnya tiba-tiba mati karena kehabisan daya baterai.

Gilang menoleh pada Farah yang sedang menonton televisi. "Ma, cas hape Gilang mana?" tanyanya.

Farah menoleh. "Duh, Mama lupa, Sayang," jawabnya lalu kembali menatap televisi.

Gilang mengembuskan napas. Ia meletakkan ponselnya kembali ke atas nakas lalu membaringkan tubuhnya kembali. Ia menarik selimut hingga menutupi wajahnya.

***

Setelah mengirimkan pesan pada Gilang, Kiara duduk di kursi belajarnya. Ia mengambil jurnal lamanya yang berada di tumpukan buku paling bawah. Kiara perlahan membuka lembar demi lembar jurnal itu. Setelah tiba di kertas yang masih kosong, ia mulai menuliskan sesuatu.

Setelah mencurahkan seluruh isi hatinya pada jurnal, ia meletakkan jurnalnya kembali. Kali ini ia tak menaruhnya di bawah tumpukan buku, namun ia taruh di tengah-tengah meja belajarnya.

Kiara beranjak keluar kamar. Ia mengetuk pintu kamar Abi. Tak lama, Kiara membuka pintu itu. Dalam kamar, terlihat Abi sedang asyik memainkan Wii.

"Kak?" panggil Kiara. Ia duduk di lantai tepat di samping Abi.

Abi menekan pause pada konsol lalu menoleh pada Kiara. "Ada apa?" tanyanya heran.

"Gue mau ikut main, dong. Boleh?"

Abi mengerutkan dahi. Tidak biasanya Kiara meminta untuk bermain Wii bersama. "Tumben ...."

Kiara tersenyum kecut. "Nggak tau kenapa. Gue pengin aja," gumamnya. Ia kemudian mengambil konsol.

Kiara dan Abi bermain Wii hingga larut malam. Keduanya larut dalam permainan, hingga tak sadar Riko memerhatikan keduanya di balik celah pintu.

Kiara menghentikan gerakannya di atas konsol, lantas menoleh. "Pa?"

Riko membuka pintu lebih lebar, lalu memasuki kamar. Lelaki itu duduk di tepian ranjang sambil mengamati Abi yang masih asyik bermain. Atau ia sok sibuk untuk menghindari Riko?

Kiara berdiri dan duduk di samping Riko. "Pa, aku mau besok kita bertiga makan siang di restoran, ya?" pintanya sambil memeluk erat lengan sang ayah.

"Kurang kerjaan! Besok gue sibuk," celetuk Abi kesal. Ia masih sibuk bermain Wii, namun ia juga fokus mendengarkan.

Kiara mencebikkan bibirnya. "Kak, lo kenapa, sih? Papa kan, udah jelasin semuanya."

Abi menyimpan konsolnya setelah mengakhiri permainan. Laki-laki itu bangkit berdiri dan naik ke kasur. "Gue udah ngantuk. Mau tidur," ujarnya sambil menarik selimut hingga menutupi kepala.

Kiara menghela napas. Ia yakin, Abi masih marah pada Riko. Begitu pun Riko yang sadar telah menyakiti hati putranya. Ia beranjak keluar kamar setelah mencium puncak kepala Kiara.

Setelah Riko keluar, Kiara langsung menarik selimut yang menutupi Abi. "Kak, lo dateng, ya, besok. Please, kali ini aja," mohon Kiara. Tanpa menunggu persetujuan Abi, gadis itu beranjak keluar kamar.

***

Vomment pleaseee❤

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 09, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

If OnlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang