V. Impian

64 15 4
                                    

Aku sengaja datang agak siang ke sekolah hari ini karena jadwal lomba paduan suara pukul sepuluh. 17-an adalah salah satu waktu guru-guru tidak menanti siswa di mulut masuk sekolah, memeriksa seragam atau menampilkan citra sebagai guru yang disiplin dan rajin. Aku yang selalu datang pagi sesekali ingin bandel, datang di jam yang kalau di hari biasa pasti dikategorikan telat, dihukum membersihkan toilet.

Memasuki lingkungan sekolah, dari salon yang terpasang di beberapa titik, aku mendengar Allegra dipanggil, diikuti teriakan histeris cewek-cewek. Suaranya yang riang memberi salam, tak lama suasana hening, terdengar petikan gitar. Apa lagi yang dilakukan gadis E itu?

Di podium, tepat di lapangan upacara, Allegra duduk memangku gitar akustik. Cewek-cewek mengitarinya dengan kagum, beberapa cowok berdiri di sana, tak bisa mendekati Allegra karena barisan barikade cewek. Tiga guru duduk tak jauh dari podium, map-map di bawah tangan mereka.

"Jika rakyat pergi ketika penguasa pidato, kita harus hati-hati. Barangkali mereka putus asa." Jari-jari kecil Allegra menari di atas senar, mata yang bening memancarkan keseriusan, menghadirkan musikalisasi puisi.

Langkahku terhenti, niatku menuju kelas buyar. "Kalau rakyat bersembunyi dan berbisik-bisik ketika membicarakan masalahnya sendiri. Penguasa harus waspada dan belajar mendengar."

Duniaku seketika cuma diisi oleh suara gitar dan Allegra. Kurasa begitu juga dunia para penonton Allegra. Gadis itu menyihir, tanpa ia sadari. Dia menyenandungkan kata-kata lagi, "Bila rakyat berani mengeluh, itu artinya sudah gawat. Dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah, kebenaran pasti terancam."

Allegra menghentikan permainan gitar dan berdiri, menyapu pandangan ke semua sudut sembari memercikkan bara dari bola mata. "Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan. Dituduh subversif dan mengganggu keamanan. Maka hanya ada satu kata: LAWAN!" Serempak, semua orang termasuk aku meninju udara di atas, mengikuti gerakan Allegra. "Peringatan, karya Wiji Thukul pada tahun 1986. Terima kasih." Ia membungkukkan badan, menerima siraman tepuk tangan meriah.

Baru hendak menyambut Allegra, Gama berlari menghampiri Allegra. Gitar akustik itu berpindah tangan dan sekejap mereka mengobrol akrab, ditimpali Riri dan Zian yang dari tadi ada di kerumunan penonton Allegra. Benakku memuntahkan percakapan dengan Zian kemarin, perihal gosip mereka tinggal berdekatan bahkan dicurigai hidup di bawah atap yang sama. Dari bahasa tubuh yang ditangkap retinaku, hubungan mereka sudah pasti bukan sekedar teman sekolah biasa. Mereka tidak pernah sekelas, tidak di satu klub, tapi sedemikian akrab... hipotesaku: mereka teman sejak kecil.

****

Pukul sepuluh. Allegra membawa kami ke aula untuk bertanding suara. Sesuai komando Allegra, kami mengenakan ikat kepala yang ia beri kemarin sebagai tanda kompak.

Kala panitia memanggil XII.IPA 2, Riri selaku dirijen memimpin kami bersiap. Alunan lagu ballad favoritku, Gugur Bunga dan Syukur dibawakan sekhidmat mungkin. Allegra sempat berdoa agar kelas kami juara I waktu kami berdoa bersama tadi. Kurasa, keinginan untuk juara masuk akal, kami kompak dan harmonis.

Lawan setelah kami turun panggung adalah kelasnya Gama, XII.IPS 1. Kontras dengan kelasku, kelas Gama memakai jubah hitam dan setiap orang memeluk setangkai bunga mawar hitam dan membawa satu lilin. Mereka eksentrik, unik, dramatis, dan membuatku berdecak. Anak-anak IPS itu naik ke panggung dengan muka sendu, seolah yang mereka datangi adalah pemakaman.

Allegra yang tahu-tahu di sampingku berdesis, "Gawat! Mereka total banget! Tapi, kualitas nyanyian mereka mungkin tidak sebanding penampilan haha." Dia menyemangati diri sendiri meski nada suaranya mengandung skeptis.

AllegraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang