Bonus - If We Were Meant to be Together, We Would be Together

Start from the beginning
                                    

"Nggak, Tan. Aku yang ambil sendiri. Mama... lagi nggak enak badan." Tentu saja ini adalah bohong. Aku cuma tidak ingin mengakui ke Tante Demi, kalau pagi ini lagi-lagi kutemukan Mama di kamarnya menangis tersedu-sedu karena lelaki itu.

Tante Demi menatapku sendu. Dia mengembuskan napasnya dan mengusap-usap kepalaku sambil tersenyum lembut.

"Semoga mama kamu cepat sembuh ya, Arianna."

Aku mengangguk pelan sambil tersenyum kecil.

"Hasil rapotmu bagus?"

"Alhamdulillah, bagus, Tan."

Tante Demi tersenyum lebar, lalu kembali mengusap-usap kepalaku. "Kamu memang berbeda ya, sama anak Tante yang satu itu. Rapotnya hampir saja kebakaran, untung guru-gurunya mau kasih dia remedial. Kalau nggak, bisa tinggal kelas itu anak." Tante Demi mengomel yang kutanggapi dengan senyuman saja. "Kalau kamu sudah ambil rapot, kita makan bareng yuk!"

"Uhm." Makan bersama maksudnya sama dia juga? Aku tidak yakin bisa menghadapinya sekarang. Lagi pula, belum tentu dia mau bertemu denganku.

"Ke mana si Rion ya? Tadi, katanya cuma mau ke toilet sebentar."

"Tan-"

"Nah, itu dia!" Tante Demi tersenyum lebar, kemudian melambai-lambaikan tangannya ke arah lapangan, di mana terlihat dia sedang berkumpul dengan teman-teman sekelasnya. "RION!!"

Jantungku pun langsung berdetak dengan cepat saat kulihat dia yang berjalan menghampiri kami. Aku ingin melarikan diri. Sungguh. Tapi, aku tidak mungkin melakukannya saat ada Tante Demi bersamaku.

Aku hanya bisa menundukkan kepalaku saat dia akhirnya berada di hadapanku.

"Kita makan bareng, yuk, bertiga! Biarpun nilai rapot kamu mengenaskan, Mama ridho kok bayarin kamu makan." Terdengar Tante Demi yang terkekeh.

"Yang penting naik kelas, Ma," jawab dia terdengar jengkel. "Lagi pula nilaiku nggak separah itu. Masih ada yang di bawahku."

"Iya. Dua orang doang!" cibir Tante Demi. Aku masih belum bisa mengangkat kepalaku untuk melihatnya. Aku memilih menunduk dan menyibukkan diriku dengan ponsel saat ini. "Yuk!"

"Aku udah janji mau jalan sama teman-temanku," ucap dia yang menghentikan langkah Tante Demi. "Lain kali aja."

Akhirnya, aku pun memberanikan diri mengangkat kepalaku. Aku menatap dia yang hanya melirikku sekilas dengan dingin sebelum kembali menatap Tante Demi.

"Arianna kan juga teman kamu. Apa bedanya?"

Dia mendengus, lalu tersenyum miring. "Tapi, aku lagi pengin sama mereka. Bukan Arianna."

Aku mengigit bibir bawahku kuat-kuat, berusaha untuk memindahkan sakit yang kurasakan saat ini di dadaku. Tanganku yang memegang ponsel terasa mulai kebas karena terlalu kencangnya aku mencengkram benda persegi itu. Mataku terus tertuju padanya. Menatap dia yang tidak mau balas menatapku.

Aku benar-benar telah menyakitimu begitu dalam, ya? Hingga kamu berubah seperti ini.

"Kapan lagi kamu mau jalan sama mama kamu? Sejak SMA hobinya jalan sama teman mulu," protes Tante Demi. "Nanti kalau mama mati-"

"Hari ini aku udah janji. Nggak enak mau dibatalin. Dan, jangan bawa-bawa kematian. Umur Mama masih panjang."

Tante Demi akhirnya mengembuskan napasnya, tampak menyerah dengan keinginan dia. "Ya, udah. Mama pergi sama Arianna aja. Kamu mau kan?" Tante Demi menatapku penuh harap.

Aku yang tidak lagi mampu bersuara karena tenggorokanku yang terasa tercekat, pada akhirnya hanya bisa menganggukkan kepala. Tante Demi terlihat sangat senang, terbukti dari dia yang langsung memelukku erat. Dari balik bahu Tante Demi, aku bisa melihat dia yang menatapku dingin. Tampak tidak peduli akan perubahan raut wajahku yang pastinya sudah tampak sangat menyedihkan saat ini.

[5] Love Me Right [SUDAH DITERBITKAN]Where stories live. Discover now