Bonus - If We Were Meant to be Together, We Would be Together

Comenzar desde el principio
                                    

Ucapan salah satu teman sekelas yang duduk di kursi belakangku, mengalihkan perhatianku dari novel yang sedang kubaca. Berusaha menulikan telingaku, aku mencoba untuk kembali membaca. Meskipun pada akhirnya, usaha itu sia-sia karena pada akhirnya telingaku terus mendengar obrolan di belakangku itu.

"Perasaan dulu dia nggak brengsek begitu. Kenapa sekarang lebih-lebih dari Kak Gatra yang terkenal cowok brengsek sejati?"

"Patah hati kali!"

Aku beranjak dari kursiku saat mereka tertawa kencang. Aku tidak sanggup lagi mendengarnya lebih jauh. Hatiku nyeri dan mataku sudah mulai mengabur. Aku memilih untuk keluar dari kelas. Lebih baik aku ke perpustakaan. Mencari tempat untuk menenangkan diriku. Mumpung istirahat siang masih ada setengah jam lagi.

Aku sudah berada dekat di perpustakaan, saat dua sosok di ujung lorong tertangkap penglihatanku. Aku sudah akan berbalik badan, tetapi sayangnya salah satu sosok itu sudah mendapati kehadiranku. Dia menatapku dari jauh, dengan tatapannya yang dingin. Tatapan yang selalu kudapati darinya sejak hari menyakitkan itu terjadi.

Sadar aku tidak mungkin lagi berbalik, aku pun melanjutkan langkahku sambil berusaha menguatkan diri. Kualihkan tatapanku darinya kepada gadis di sebelahnya. Tapi, apa yang kulihat tidak membuatku menjadi lebih baik. Bahkan, dadaku terasa semakin nyeri.

Karena aku bisa menebak, apa yang mereka lakukan sebelumnya.

Saat jarak di antara kami sudah dekat, kutatap dia kembali yang rupanya masih belum mengalihkan pandangannya dariku. Kasih sayang dan cinta yang biasanya selalu terpancar di matanya untukku, kini hilang tidak berbekas. Yang tersisa hanya kekecewaan.

Dan, aku lah yang membuatnya merasakan itu semua. Aku lah penyebab dia hingga menjadi seperti ini.

Aku pun membuang mukaku, tidak lagi mampu menerima tatapan dinginnya itu. Bahkan, saat kami berpapasan, aku berusaha menahan napasku agar aroma tubuhnya tidak bisa tercium olehku. Karena aku tahu, aroma tubuhnya, pasti sudah bercampur dengan gadis itu. Dan, itu akan semakin menyakitiku.

Beberapa langkah setelah kami berpapasan, suara gadis itu pun terdengar. "Thanks, Ya. Rion."

Dan, jawaban dia setelah itu, membuatku langsung mempercepat langkah menjauhi keduanya. Karena aku sudah tidak lagi mampu membendung air mata yang mengalir dari kedua mataku.

"Sama-sama."


***


"Arianna!" panggilan itu membuatku menoleh ke belakang. Sosok wanita yang sudah kuanggap seperti ibuku sendiri, terlihat berjalan mendekatiku sambil menyunggingkan senyum lebarnya.

Aku pun melangkah mendekatinya dan langsung menerima pelukan eratnya saat kami sudah berhadapan.

"Astaga, kamu kemana aja? Tante udah lama banget nggak lihat kamu."

Tante Demi melepaskan pelukannya, lalu menatapku dengan mata yang penuh binar.

Aku memberikan senyumanku, meskipun sebenarnya sulit untuk kulakukan. "Nggak kemana-mana, Tan."

"Nggak ke mana-mana gimana? Udah hampir setengah tahun lebih kamu nggak pernah lagi ke rumah Tante. Kamu sibuk banget ya?" tanya Tante Demi menatapku penuh rasa penasaran.

Aku mengangguk dan lagi-lagi memberikan senyuman palsuku. "Gitu deh, Tan. Namanya juga anak SMA. Tugasnya lebih banyak daripada pas SMP."

Tante Demi mengangguk, tampak percaya dengan jawabanku. "Oh, iya. Mama kamu mana? Dia ngambil rapot kamu hari ini kan?" Tante Demi terlihat melihat ke sana sini, mencari sosok ibuku.

[5] Love Me Right [SUDAH DITERBITKAN]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora