[P]

26.8K 1.6K 74
                                    

ANGIN berhembus kencang seolah membisikkan hawa dingin yang mengurung. Sinar matahari yang merangsek masuk melalui celah jendela yang terbuka sedikit seolah menjadi satu-satunya penanda bahwa tempat tersebut masih dihuni oleh manusia.

Suara derap langkah hak sepatu yang bersinggungan dengan lantai, roda berderit kasar, menjadi tanda bahwa adanya kehidupan di dalam bangunan bergaya kuno tersebut. Cat bangunannya berwarna putih pualam, dikelilingi taman dengan pepohonan rindang. Hijau, tapi tidak bernyawa. Bunga pun seolah enggan tumbuh di sekeliling taman yang terawat. Beberapa tanaman menjalar seperti sengaja dibiarkan tumbuh di dinding sekitar bangunan.

Seorang perempuan berpakaianan suster dan rambut disanggul ke belakang melangkah sambil mendorong troli yang berisi makanan bagi penghuni masing-masing kamar. Jumlah kamar di bangunan itu ada lima belas kamar, belum termasuk di dalamnya kamar bagi para suster dan dokter yang bertugas, juga pegawai lain di sana. Meskipun hanya satu lantai, bangunan itu tergolong sangat luas. Sementara itu, ada sebuah tangga yang menuju ruang bawah tanah. Ruang bawah tanah itu hanya diterangi lampu seadanya, dan termasuk kawasan yang tidak diperbolehkan dikunjungi orang luar dan pasien yang dirawat di sana.

Suster itu berhenti di sebuah kamar yang letaknya paling ujung di lorong tersebut. Kamar 1455 yang memiliki label nama 'Aira Wirastama' di daun pintunya. Dengan satu set makanan di tangannya, suster dengan nama Mega yang tersemat di baju bagian dada sebelah kirinya, segera melangkah masuk.

"Selamat pagi, Nona Aira," sapa suster tersebut.

Gadis yang berada di dalam kamar itu menoleh sesaat. Sejak tadi, yang dilakukan gadis itu hanya diam memandangi jendela dan sesekali menulis sesuatu di buku catatan biru miliknya. Sekilas, gadis itu terlihat sangat cantik. Dengan kulit yang putih, iris mata coklat terang, rambut panjang sebahu berwarna burgundy yang memiliki ikal di ujungnya, juga terakhir bibir tipisnya, Aira jauh dari kata buruk. Sayangnya, kini kantung mata Aira terlihat sangat tebal, matanya pun sayu seolah kehilangan binar, dan tubuhnya terlihat semakin kehilangan bobot.

"Saya tidak ingin makan, Suster Mega," jawab Aira dengan suara enggan.

"Nona, nanti siang keluarga Nona akan menjemput Nona Aira ke sini. Apa Nona ingin keluarga Nona melihat Nona tidak dalam kondisi yang baik?" bujuk Suster Mega.

Aira masih diam di tempatnya. Memandangi jendela yang memperlihatkan deburan ombak dan pasir putih. Bangunan ini memang terletak di suatu pulau pinggiran kota Jakarta. Harusnya, memiliki kesan damai, nyaman, dan terpencil sekaligus. Pantai di sekitarnya pun indah dilihat mata. Sayangnya, pasien yang dirawat di sini tidak memiliki akses untuk keluar dari bangunan rumah perawatan untuk sejenak bermain di pinggiran pantai.

"Ayolah, Nona. Apa Nona tidak merasa rindu dengan keluarga Nona Aira?" bujuk Suster Mega lagi. Kali ini ia berjalan mendekati Aira.

"Keluarga?" tanya Aira dengan mata membulat.

"Iya, keluarga. Bukankah Nona Aira sudah tidak sabar untuk bertemu mereka?"

Aira meninggalkan pandangannya dari jendela kemudian memandang Suster Mega tajam. Aura mendominasi mulai terlihat di pandangan Aira, membuat Suster Mega sedikit terpaku meski dengan cepat dia bisa menetralkan perasaannya.

"Apa aku punya keluarga?"

Pertanyaan itu meluncur dari bibir Aira membuat Suster Mega menghampiri Aira lebih dekat dan memandangnya dalam.

"Tentu saja. Jadi, sekarang Nona Aira makan dan minum obat ini, ya? Saya akan kembali nanti," kata Suster Mega sambil menaruh satu set makanan dan tiga butir obat dalam tabung bening di meja dekat jendela.

Klik.

Pintu kembali ditutup oleh Suster Mega, perlahan langkah hak sepatunya terdengar menjauh dari kamar Aira. Aira menatap makanan di hadapannya dengan malas kemudian mulai menyuap dan mengunyah makanannya pelan.

"Keluarga?"

****

Labirin Memoir [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now