Chapter 16: Escapee

480 75 2
                                    

Chapter 16: Escapee

Setelah melewati banyak hal. Mary bersyukur tidak bermimpi apapun saat tidak sadar. Matanya membuka perlahan dan kesadarannya kembali. Dia menatap kosong langit-langit yang tampak familiar dari kamarnya di rumah bibi Rebecca. Mary tidak pernah menyangka kalau begitu banyak yang terjadi dalam satu minggu ini. Begitu banyak yang menguras perasaannya, emosinya dan memenuhi seluruh rongga otaknya.

Mary tidak ingin bangkit. Tidak ingin menghadapi kenyataan.

Ah, sudah berapa lama dia melakukan ini? Tanpa mencari tahu apa dan berusaha menyelesaikannya, Mary lebih memilih lari. Lari dan terus berlari. Dia memilih untuk menghindar, mengatakan pada dirinya bahwa semuanya tidak berubah. Tidak ada yang berubah. Dia hanya perlu menata hatinya.

Namun, Mary tahu tidak akan bisa lari saat ini. Terlebih lagi ketika bibi Rebecca tampak di ambang pintu dan menatapnya penuh khawatir dan rasa bersalah.

Rebecca menyadari satu hal. Mary mendengar pembicaraannya dengan Samuel. Dia mendengar kenyataan yang paling tidak ingin mereka beritahukan. Dia ingin Mary mengetahuinya ketika gadis itu telah siap serta diwaktu yang terbaik. Tapi takdir terlalu sering mempermainkan keluarga mereka. Mary malah harus mendengarnya di saat emosinya sedang kacau. Saat Mary baru saja berusaha untuk terbuka, baru saja melihat ayahnya pulang dan tanpa sepengetahuan mereka.

Ini buruk. Sangat buruk.

Lantas apa yang bisa dilakukan Rebecca?

"Mary..." panggilnya pada sosok itu. Mary menoleh, wajahnya yang tanpa ekspresi telah kembali. Hati Rebecca seperti tertusuk jarum yang tajam, semua yang diharapkannya seakan melayang begitu saja. "Boleh... bibi masuk?"

Tatapan Mary kosong, dia mengangguk tanpa komando. Ingin sekali mengakhiri semua ini. Lelah—sangat lelah.

Dilihatnya bibi Rebecca masuk ke dalam kamar dan duduk di ujung ranjang. Mary bangkit dar posisi tidurnya. Menyandarkan tubuhnya ke belakang tempat tidur, dia menunduk. "A—" bibi Rebecca tersenyum pedih, "Bibi tahu kami sudah tidak adil," ucapnya memulai percakapan. "Tapi kala itu emosimu tidak stabil dan Reene—" tenggorokannya tercekat, dia mengingat terlalu banyak hal buruk, "—dia menginginkan status sebagai istri Samuel. Awalnya karena kasihan padamu dan Ebby, lalu banyak yang terjadi. Ebby harus diserahkan padaku sementara kau sendiri tidak sempat dibawa pergi oleh Samuel," memori tentang apa yang diceritakan oleh bibi Rebecca sangat berbeda dengan memori yang tertanam dikepalanya. Mary tidak tahu harus mengatakan apa.

"Kau mengalami Post traumatic Amnesia, seharusnya semua itu bisa sembuh dalam beberapa minggu. Tapi Reene terlalu senang saat kau memanggilnya ibu. Lalu dia mulai terlihat terlalu terobsesi. Padamu, pada Samuel dan pada Ebby, dia melarang siapapun mengatakan yang sebenarnya padamu," Mary mengangkat wajahnya, menatap lamat-lamat sosok bibinya, "lalu dia mulai menuntut, marah karena Ebby berada di tanganku. Marah pada Samuel yang tiba-tiba pergi dan menghilang. Dia memutuskan kontak dengan kami. Tak sempat kami menyelamatkanmu. Kau terlalu dekat dengannya, k-kami—"

Bibi Rebecca menangis.

Mary hanya menatap. Tidak heran mengapa dirinya merasa begitu dengan dengan Declan. Mengapa rasanya tidak ingin ditinggalkan oleh pemuda itu. Mereka saudara—kandung.

Cerita itu berlanjut. Bibi Rebecca sudah menganggap Declan seperti anaknya sendiri. Dia tidak punya anak. Sementara Declan juga sudah menganggapnya seperti ibu sendiri meski pada kenyataannya mereka hanyalah ponakan dan bibi. Declan tidak pernah mengatakan apapun padanya karena perintah bibi Rebecca yang tidak ingin terjadi sesuatu pada Mary jika hal itu sampai terdengar oleh Reene dulu. Setelah Reene meninggal pun, sebenarnya dia ingin menceritakan semuanya. Tapi emosi Mary tidak stabil. Dia tidak ingin keadaannya memburuk.

[Old Ver.] The Story of a Living Doll (Discontinued)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang