Chapter 8 : A Living Doll

1.2K 139 6
                                    

Chapter 8 : A Living Doll

Rasanya seperti melayang.

Mary tidak ingat apa yang terjadi setelah dia bangun dari tidurnya yang melelahkan. Kejadian saat matanya membuka, lalu dirinya yang secara otomatis bergegas ke kamar mandi, mencari pakaian yang layak untuk digunakan hari ini lalu bersiap-siap. Mary bahkan tidak ingat apa yang menjadi sarapannya pagi itu—atau apa benar dia sarapan pagi itu. Namun, perutnya yang tidak memberontak mengatakan dengan jelas bahwa Mary benar telah sarapan. Maka pagi itu dia berangkat ke sekolah, dengan rambut yang telah ditata rapih oleh bibinya, wajah yang masih tirus namun sudah tampak lebih sehat, kulit putih bersih yang wangi dan baju baru nan segar yang dibelikan oleh bibinya beberapa waktu lalu.

Mary berhenti untuk merasakan apapun. Beberapa hari setelah pemakaman digunakannya untuk memulai hidup baru. Namun tidak ada satupun hingga kini yang membuatnya merasa lebih baik. Bahkan ketika bibinya mulai merawatnya. Mary yang tidak punya keinginan untuk menolak atau meminta sama sekali tidak membantah. Dibiarkannya bibinya itu untuk mengurus segala hal yang seharusnya dilakukan olehnya sendiri. Beberapa potong baju yang baru dibeli oleh bibinya kini menggantung di lemari pakaiannya—di kamar baru dan di rumah barunya. Rambutnya dipotong dengan rapih sehingga rambut pirang kotornya tidak lagi berantakan, bahkan warna rambutnya kini lebih cerah, lebih sehat—lebih baik. Lalu, dia makan lebih layak. Tidak lagi jadwal makannya berupa makan jika beruntung, namun benar-benar tiga kali dalam sehari. Bahkan sesekali bibinya akan membawakan cemilan di sore hari untuk disantap bersama Declan sambil menonton tayangan televisi yang dulu merupakan hal mewah untuk dirinya.

Sejujurnya, semua ini adalah hal mewah. Mary memiliki hidup yang lebih baik sekarang. Sayangnya, ketika semua itu tiba, dia tidak mampu lagi untuk merasa gembira atau merasa bersyukur. Karena dia tidak mau merasa berdosa dengan berpikir bahwa hidupnya lebih baik lalu mulai bersyukur.

Karena itu sama saja dengan bersyukur akan kematian ibunya.

Perjalanan ke sekolah tidak sejauh perjalanan dari rumahnya yang dulu. Declan yang harus berangkat ke sekolah pagi-pagi sekali sudah meminta maaf berkali-kali sebelum membiarkan Mary makan dengan tenang. Gadis itu hanya melambai, menganggap semua itu tidak masalah. Karena benar seperti itu adanya. Baginya, apapun yang terjadi sekarang ini, tidak akan ada bedanya.

“Mary!” seseorang yang memanggilnya  di koridor membuatnya menoleh, ada gadis dengan paras cantik nan lembut di sana—Ivory Adams. Dengan kaki kecilnya gadis itu berlari sepanjang koridor hanya untuk mendekati posisi Mary berdiri sekarang ini. Nafasnya memburu ketika gadis itu sudah berada di hadapan Mary, beberapa detik digunakannya untuk mengatur nafas dan barulah setelah itu Ivory  menoleh dengan wajah khawatir pada sahabatnya. “S-syukurlah kau sudah masuk sekolah, aku mulai khawatir…”

Mary menatap tanpa ekspresi, kepalanya mengangguk kecil menandakan dia mendengarkan gadis itu. “Seharusnya aku sudah bisa masuk beberapa hari yang lalu, tapi dokter meminta bibi untuk membiarkan aku istirahat,” padahal tidak akan ada perbedaan dengan dirinya yang masuk minggu lalu dengan dirinya yang masuk minggu ini. Fisiknya tidak begitu terluka, namun keluarga bibinya bersikeras untuk memperbaiki mentalnya—yang mana menurut Mary adalah buang-buang waktu. Namun gadis itu tahu untuk menjaga mulutnya.

Mary tidak butuh perbaikan mental. Dia tidak butuh sama sekali. Karena tak ada yang perlu diperbaiki. Dia baik-baik saja—tentu.

Ivory menatap gadis yang telah menjadi temannya sejak lama itu dengan seksama. Ada yang berubah dari gadis itu. Bukan hanya soal fisik, bukan hanya soal keadaan Mary yang tampak lebih segar dibanding biasanya, namun ada sesuatu. Sesuatu yang sangat penting.

“Mary?”

“Hm?”

“Apa… kau baik-baik saja?”

[Old Ver.] The Story of a Living Doll (Discontinued)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang