(22) Isyarat Rasian

Start from the beginning
                                    

"Arief di sini sampai ketemu calon istrinya," jawab Hafiz menimpali sok tahu.

"Enggak, hanya sampai liburan kuliah habis aja," sanggah Arief.

Dio tertegun dan terharu mendengar sepupunya yang memanfaatkan kesempatan baik. "Salut aja gitu, Arief aja yang masih kuliah udah ada kepikiran calon istri, lah abangku udah mapan lihat tuh ngejomblo aja. Padahal lebih tua bang Hafiz kan, mudah-mudahan gak jadi bujang lapuk," sindir Dio.

Sentilan mendarat di kening Dio yang nggak sopan menyindirnya terang-terangan. Tapi Dio malah tak jerah sedikit pun.

"Bang kalau susah cari jodoh, Dio rekomendasikan kakaknya Aufa aja ya."

Sepertinya sentilan kedua akan mendarat lagi di keningnya. Tapi sang papa malah melerai tingkah mereka. Arief yang melihat hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.

*
Susana pagi adalah suasana yang masih fresh. Tapi Sarah sedikit pun tak dapat tidur nyaman tadi malam. Cekungan matanya membentuk lengkungan hitam dan badannya terasa kesemutan. Kejadian tadi malam masih melekat di memorinya. Tapi sampai sekarang wanita yang ada di rumah neneknya juga belum sadar. Sedangkan sang nenek akhirnya percaya pada Sarah.

Padahal ia masih terkagum-kagum dengan busana biru. Alhasil ia memilih kemeja putih dan rok hitam serta kerudung hitam seperti karyawati yang sedang magang. Hani heran melihat Sarah sedari tadi mengoleskan minyak kayu putih di keningnya.

"Sar, kamu kenapa?" tanya Hani. Tapi Sarah masih bergeming karena tak mendengarkan pertanyaannya. Tangannya juga aktif mengambil kertas lalu menuliskan sesuatu. "Sarah, kamu kenapa? Sakit?" tanya Hani sekali lagi sambil menempelkan punggung tangan di kening Sarah.

Sarah kaget karena yang menyentuh baru saja adalah sahabatnya sendiri. Tapi suasana rumah tak boleh dibawa suasana kerja. Sarah melirik jam tangan pukul setengah sembilan. "Enggak kok Han, siap-siap dulu yuk kita akan briefing," jawab Sarah mengalihkan pembicaraan.

Tapi Hani tahu bahwa keadaannya sahabatnya ini tidak dalam kondisi baik-baik saja. Ia yang biasa rewel bin bawel berubah sedingin es. Pasti ada yang ia sembunyikan. Serta raut wajah juga tak seperti biasanya. Lalu apa yang kurang? Cekungan mata itu menghitam. Apa jangan-jangan mimpinya tadi malan ada hubungan dengan Sarah. Sama persis Sarah yang ia temui memakai baju putih. Hanya saja dipadukan warna hitam. Serta sama persis tingkahnya juga aneh seperti Sarah yang ia temui ketakutan di alam mimpi.

Kini baginya diskusi hanya sebatas kaset rusak yang diputar ulang-ulang. Ia tak dapat berkonsetrasi dengan baik. Padahal ini adalah briefing perjalanan wawancara kamis ini. Sarah tahu bahwa dirinya kuat karena ia belum pernah masuk rumah sakit. Tapi ia baru tahu kelemahannya sekarang, tak dapat melihat lumuran darah karena dapat menekan jantungnya dengan ribuan ton kapas. Emosinya juga mulai aneh seperti cuaca akhir-akhir ini.

"Jadi kita akan mewancarai launcing penerbitan penulis muda yang diangkat dari Wattpad?" tanya Hani sekali lagi sambil kagum mendengarnya. Tak disangkah, banyak buku yang diterbitkan dari aplikasi tersebut.

"Iya, salah satu yang paling terkenal dan booming adalah karya Eriska Febrian dengan judul Dear Nathan," jelas Nayla menimpali.

"Nah, dalam acara tersebut bukan hanya karya dia saja tapi juga ada karya yang lainnya seperti karya Susan Arisanti, Wulan Fadila, Inesia Pratiwi dan masih banyak lagi," ucap Satyo menambahkan.

"Nah, target kita adalah pengunjung, penulis dan penerbit tersebut, pastikan kalian mendapat rekaman yang lengkap serta foto-foto mereka," jelas Hafiz. "Semua biaya transport juga akan ditanggung. Jadi kalian tidak usah repot-repot memikirkannya. Ya hanya kesediaan kalian saja ke sana," ucap Hafiz sekali lagi.

Pernyataan yang terdengar memaksa, padahal seluruh divisi wajib mengirimkan dua orang. Sarah masih memijati keningnya yang mulai cenat-cenut tak karuan. Sedangkan Hani antusias nggak jelas seolah baru ke luar dari sangkar burung yang mencengkeram.

Setelah briefing selesai. Hani memutuskan untuk menyelesaikan tuntas semua pekerjaannya agar semua persiapan wawancara bisa lebih maksimal lagi.

*
Pria itu sangat suka menggunakan parfum casablanka hingga saat berjalan aromanya terus mengikut dan menyebar ke penjuru ruangan.
Ia membolak balik majalah terbitan bulan lalu.

"Sudah menemukannya?" tanya Hafiz dengan hasrat keingintahuannya.

"Aku kehilangan jejaknya, segala data diri tentangnya sudah dimusnakan. Hanya saja firasatku sedang tidak enak," ucapnya sambil menelan salivanya. Mencari manusia bukan seperti mencari anak kucing yang ditinggal di pinggir jalan. Bahkan kucing pun tahu bahwa tuannya sayang padanya. Tapi pembicaraan ini tidak ada hubungannya dengan anak kucing.

"Bisakah kau jelaskan padaku bagaimana dia? Setidaknya aku bisa tahu jika suatu hari bertemu dengannya," tawar Hafiz tanpa sedikit pun menatap lawan bicaranya.

"Dia aktif, suka tersenyum dan paling suka mengatakan kata maaf dan terima kasih. Cara bicaranya juga lembut tapi dibalik kelembutannya ia sangat lincah dan tindakannya cepat."

Hafiz geram mendengar jawabannya. "Kau ini, gimana aku bisa tahu kalau ciri-cirinya seperti itu? Setidaknya beritahu ciri-ciri fisiknya," komentar Hafiz. Sedangkan pria itu tersenyum garing.

"Dia setinggi diriku dan memiliki tahi lalat di pipi kiri. Apabila tersenyum, kismis tersebut akan melebur bersama senyumnya. Dia selalu memakai celak hitam di bawah kelopak mata. Dan dia juga punya tahi lalat di dekat pergelangan tangan kanan persis tepatnya dekat jari kelingking." Menceritakan tentangnya membuat ia haus dan meminum es.

"Siapa namanya?"

"Liona Natasya."

Lupakanlah, semuanya membuat ia bingung harus apa. Mungkin jika liburan ini ia tak dapat menemukannya juga setidaknya ia harus lebih fokus pada kuliah S2-nya.

"Ayo ikut aku," pinta Hafiz padanya.

"Mau kemana?"

"Cacing di perutmu apa tidak teriak minta makan?"

Benar juga tawaran Hafiz. Apa mungkin karena terlalu memikirkannya membuat ia tak merasakan perutnya keroncongan?

*
Kedua wanita itu sama-sama canggung dalam menghadapi makanan di hadapannya. Bahkan setelah makan pun tidak ada pembicaraan sama sekali.

"Sar tadi malam aku bermimpi aneh, aneh sekali. Aku menemukanmu ketakutan dan berlumuran darah."

Sarah tak dapat lagi menahan air mata yang bersarang di ujung kelopak matanya. "Aku harap cuma mimpi Han," lirih Sarah. "Aku, aku,-" ucapannya tertahan karena ia masih teringat ucapan wanita itu.

"Kau kenapa Sar?" tanya Hani sekali lagi memastikan. Sarah menggelengleng lesu karena bibirnya mulai kaku.

Bersambung

Love In MagazineWhere stories live. Discover now