Bagian Tiga

8.3K 776 37
                                    

C a l e b

Gue tersenyum getir memandang layar TV. Memandang objek rupawan yang dipuja semua orang, yang baru saja membawakan berita pagi harian. Milea melakukan beberapa kesalahan mendasar, ia terlihat kurang berkonsentrasi dan sedikit pucat. Tapi semua masih bisa terkendali dengan baik ketika senyumnya yang semanis permen itu terpatri di wajahnya. Cantik dan manis banget.

Gue meraih remot, dan mengutak-atiknya mencoba menemukan channel menarik, tapi gagal. Bosan, gue memilih berdiri melangkah ke sudut rumah ini dan menemukan pintu biru muda disamping kamar gue dan Milea. Pintu yang gue cat sendiri sekitar dua tahun lalu. Warnanya masih cerah dan itu enak di pandang.

Gue menarik handel pintu, mendengar bunyi khas pintu ke buka dan terpampanglah ruang kosong itu didepan gue. Ruangannya juga di cat biru, sama kayak pintu. Gue masuk, menarik tirai yang mulai berdebu karena tak terjamah. Membiarkan panas pagi menghangatkan tempat ini dan tempat di hati gue yang tanpa gue sadari mulai dingin.

Menatap apa saja yang bisa gue tatap, gue menemukan diri gue sendiri tenggelam dalam memori dalam di masa lalu. Memori yang terasa hidup walau terjadi di masa lampau. Teringat akan petama kali gue ngajak Milea makan malam selepas shooting. Dia bingung, karena gue tiba-tiba menyampari dia dan mengajaknya makan. Ya kali dia bingung, orang kita berdua ketemunya Cuma beberapa kali dan itupun nggak bertegur sapa. Cukup sekedar saling tahu aja. Tapi anehnya, Milea menyetujui ajakkan konyol itu. Mungkin dia takut karena gue bosnya kali.

Sayangnya, cecurut ember model Axel ngotot banget ingin ikut dan berimbas sama tim gue yang lain yang juga nggak mau ketinggalan. Alhasil, kita makan bareng-bareng.

Untunglah, Milea orangnya supel. Mudah bergaul sama siapa aja, ia nggak lantas jadi kaku tapi bisa berbaur dengan mudahnya. Jadinya gue yang nggak nyaman. Niatnya pengin berdua, eh malah datang berjamaah kayak gini. Ya sudah.

Milea lebih banyak bicara sama Axel yang matanya pengen gue cabut karena melihat Milea dengan segitunya. Tapi gue mencoba menahan diri. Nggak lucu juga kalau besok muncul berita di koran 'Caleb Faith Sudjono mencongkel bola mata rekan kerjanya saat makan malam bersama.' Crap. Hancur reputasi.

"Kamu lebih cocok jadi bintang film kali, Me. Kenapa nggak ikut casting film aja? Atau mau nanti saya cariin jalur aja?"

Milea menarik senyum, "Nggak ah, pak. Enakkan begini dulu. Saya juga masih perlu banyak belajar kalau mau jadi bintang film."

"Ah, tampang kayak kamu mah gampang kalau mau jadi artis, Me. Atau kalaupun nggak pengen jadi bintang film, bintang di hati saya juga bisa kok."

Guyonan kadarluwarsa itu justru disambut baik sama Milea. Buktinya dia tertawa lepas. Gue mengepalkan tangan di bawah meja, meruntuki Axel saat itu juga yang terlihat makin 'terpukau' dengan tawa lepas Milea.

Gue mengepal tangan dibawah meja saat semua orang berseru untuk keduanya. Kampret bener temen gue ini.

Si curut Axel mengembangkan senyum lebar, minta gue suap pake sendal kali tu anak.

"Tapi kamu belum punya pacar,kan?"

Semua orang menunggu respon Milea, termasuk gue. Berharap dia berkata "belum".

"Sudah, pak."

Mencelos bersamaan dengan Axel, gue menghembuskan nafas. Jadi, Milea sudah punya pacar yah?

Axel yang terlihat kecewa memilih mengalihkan pembicaraan. Mereka lalu mulai dengan obrolan baru sampai gue merasa malam sudah semakin malam dan kita sudah harus pulang.

Gue berjalan lebih dulu ke kasir untuk membayar semua makanan malam ini. Dari belakang gue mendengar ajakan Axel untuk mengajak Milea pulang bareng, tapi gadis itu menolak. Ia beralasan pacarnyalah yang akan menjemput. Axel lalu pamit pulang dan pergi dengan anak-anak yang lain.

30 Days Together [TERBIT DI DREAME]Where stories live. Discover now