***

3.1K 82 188
                                    

Terdampar.

Entah kenapa aku merasa itu adalah gambaran yang tepat untuk keadaanku saat ini. Benar, meskipun tidak terlalu menakutkan, terlebih lagi memprihatinkan, tapi ini sudah lebih dari cukup untuk dikatakan seperti itu.

Akan aku jelaskan. Sebenarnya definisi terdamparku bila dijabarkan secara eksplisit nan efisien yaitu keadaan di mana aku tengah terduduk diam pada sebuah sofa, memandangi tv menyala dan bertemankan seorang gadis yang sedari tadi tidak mengucap kata. Terlihat tenang, tetapi air mukanya tampak gelisah.

Dia bukanlah gadis bisu, bukan pula tuli. Dia sama halnya sepertiku, hanya memandangi tv tanpa bereaksi.

Tepatnya, aku berada di rumahnya. Dia, kekasihku.

Tanpa kejelasan ... sebentar. Sepertinya gaya bahasa di atas agak sedikit rumit, aneh dan cukup menjijikan untuk sebuah cerita sampah macam ini. Harus diganti.

Gue ... ah, tepat! Pake gue.

Kini, gue sedang bingung mengamati cewek yang terduduk dengan kepala bersandar pada bahu kiri gue. Tampak juga tangan kirinya memegangi perut; lengkap dengan wajah meringis sakit seperti menahan sesuatu. Gelisah.

"Kenapa, Ay? Kamu sakit?" Gue letakan punggung tangan pada kening doi, terasa nggak hangat.

Doi mendongak. "Sedikit ... " jawabnya lesu.

"Aku anter ke dokter, ya?"

"Nggak mau, ah. Aku ngga suka obat, Ay," tolaknya pelan, kelihatan jelas mukanya masih meringis sakit.

"Kita periksa aja, mau, ya?" bujuk gue lagi dengan sabar.

"Orang aku nggak kenapa-kenapa, kok. Tuh, kan, udah sembuh." Doi menarik tangan kanan gue lalu menempelkannya lagi pada keningnya. "Ay, aku mau tanya, boleh?"

"Nanya apa? Jangan tanya kapan kita married."

Doi mundurin kepalanya yang tadi bersandar, menonyor lengan gue sambil ketawa pelan.

"Iss. Itumah maunya kamu," ledeknya. "Mmm ... kalo seandainya aku ngambek terus tiba-tiba marah nggak jelas respon kamu gimana? Sebel, nggak?"

Rada aneh sih menurut gue pertanyaannya. Sambil menatap bingung, gue berfikir sejenak sebelum menjawab, "Mungkin aku bawa ke dokter."

Sekarang gantian doi yang bingung. "Kok ke dokter, mau ngapain?"

"Ya nggak apa-apa, mau langsung aku suntik mati! Ngerepotin orang aja," kata gue sambil berusaha menahan tawa.

"Iss, jahat, deh! Sumpah, kamu jahat. Tak kandakne Mamak mengko. Tenanan, duso lho, ora apek kondo ngono kui." dumelnya mengambek, tangannya memukul lengan gue berkali-kali. (Aku aduin ke Mama nanti. Beneran, dosa lho, gak baik ngomong kayak gitu.)

Gue cuma senyum-senyum doang melihat doi ngambek. Lucu aja kalo mukanya dimanyunin. Padahal biasanya doi gampang banget ketawa dan bakal ngeledek balik. Ini malah enggak. Kenapa?

Perlahan gue pegang tangan doi supaya berhenti memukul. Lama-lama sakit juga ini lengan. Pegel. "Udah sayang, udah. Kamu nggak lagi anu, kan?" tanya gue hati-hati.

Doi menoleh, lalu mengangguk. "Perut aku nyeri ... sakit ..." doi nyenderin kepalanya lagi. "Kalo seandainya bisa, kamu mau nggak rasa nyerinya dipindahin ke kamu?"

Bentar, pertanyaan macam ini?

Dahi gue mengkerut, tapi cepat-cepat tersenyum. "Pasti mau, lah. Demi kamu!" jawab gue mantap. Doi tersenyum senang.

PEMBALUT II-DESY [COMPELETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang