1

5.3K 350 12
                                    

Kala itu langit terlihat mendung. Angin pun bertiup kian lama makin kencang. Membuat dedaunan dan tumbuhan menari karna terpaannya.

Perubahan cuaca memang ekstrim akhir-akhir ini. Siang hari bisa panas sekali, tetapi badai bisa datang saat sorenya. Benar-benar menakutkan. Sistem kekebalan tubuh harus kuat untuk menghadapinya.

Tetapi rupanya, langit yang mulai menggelap dan gerimis belum bisa memadamkan api semangat nona Hyuga. Hinata tetap menginjakkan kaki telanjangnya pada rumput di halaman belakang rumahnya yang luas. Membuat sudut bibirnya sedikit terangkat membentuk senyuman tipis nan lembut. Apalagi ketika merasakan telapak kakinya bersentuhan dengan daun yang basah karna embun. Ada rasa sejuk dan nyaman di sana.

Ini masih pukul delapan pagi. Namun memang, hujan itu tidak mengenal waktu, bukan?

"Nona Hinata, hujan akan turun. Tolong, nona segera masuk."

Hinata tidak menghiraukannya. Tentu saja ia tahu suara siapa itu. Itu adalah suara milik pengasuhnya sejak kecil. Kepala pelayan di keluarga Hyuga yang usianya mencapai 67 tahun. Wanita paruh baya yang dihormati dan disayangi Hinata.

Bagaimana tidak? Hinata kehilangan ibunya di usia delapan tahun. Sejak saat itu, Meini lah yang menemaninya. Hiasi Hyuga sendiri pun juga sangat menyayangi putri tunggalnya itu, tapi pekerjaan sebagai pengusaha membuatnya harus sering berpergian ke luar negeri.

Tapi Hinata tidak masalah dengan hal itu.

"Nona..."

Hinata sudah berdiri di tengah taman. Memakai gaun berbahan lembut dan mahal, berwarna ungu muda. Rambut indigo itu digerai dan sedikit berantakan karna ikut diterpa angin. Tanpa alas kaki berjalan menyapa rerumputan.

"Sebentar saja." Kata Hyuga itu dengan nada lembut. Tangannya direntangkan dan mata lavender pucat itu ditutup. Tak lupa senyuman yang menghiasi wajah cantiknya. Hinata nampak menikmati kegiatannya ini.

Tetapi rupanya ketertarikan gadis berusia 20 tahun itu teralihkan ketika mendengar ucapan Meini selanjutnya.

"Tuan besar sudah datang, nona."

Mata itu terbuka dan Hinata menoleh cepat pada Meini yang daritadi mengikutinya.

Hiasi Hyuga pulang? Ooooh! Hinata sangat merindukan ayahnya. Mereka tidak bertemu sejak lima hari yang lalu karna ayahnya sedang di luar kota. Biasa, bisnis.

"Ayahku datang? Di mana ayah sekarang?"

"Di ruang tamu, nona."

* * *

"Aku sangat menyesal karna baru bertemu denganmu sekarang, nak. Aku mencoba mencari kalian tapi..."

"Tidak masalah, Tuan Hyuga."

"Oh, jangan memanggilku seperti itu, Kakashi. Ayahmu bahkan selalu memanggilku 'Mata Pucat' dan mengejekku."

Hiasi Hyuga tertawa. Tawa yang ringan dari pria paruh baya itu menggema di rumah besarnya. Terdengar sangat menyenangkan. Apalagi di kediaman keluarga Hyuga ini biasanya tenang dan sunyi. Hanya ada aktivitas para pelayan dan nona Hyuga yang senang berada di halaman belakang.

"Kau tahu, Kakashi... Ayahmu itu benar-benar sahabat terbaikku," Tawa itu digantikan oleh senyuman. Ekspresi Hiasi mulai serius, ditatapnya pria berambut keperakan dengan masker menutupi hidung juga mulut itu dengan tatapan tenang, "Kami kehilangan kontak saat setahun setelah kelulusan. Memang, Sakumo tidak melanjutkan pendidikannya seperti aku. Dia lebih senang bersama klub bela diri miliknya itu," Hiasi Hyuga terkekeh dan matanya menerawang, "Tetapi sebelum itu kami masih akrab dan sering bertemu. Hanya saja seperti yang kukatakan sebelumnya, aku kehilangan kontaknya. Nomor ponsel tidak aktif, rumahnya yang dijual dan tidak ada yang tahu dimana bocah tua itu berada," Pria Hyuga itu menggeleng miris, tatapannya meredup selama beberapa detik, namun kembali bersinar saat menatap Kakashi, "Dan lusa kemarin kau muncul, menolongku dari penjahat suruhan rival bisnisku. Oh, Kakashi...aku tidak tahu bagaimana caranya berterimakasih."

Simple LoveWhere stories live. Discover now