3 rasa - part 34

5.7K 354 9
                                    

#Baim#

Pembacaan ayat suci Al-Quran sudah selesai dilakukan. Acara selanjutnya adalah khutbah nikah oleh seorang ustadz yang berisi nasihat-nasihat tentang pernikahan. Bukan hanya untuk calon pengantin, tapi nasihat-nasihat ini bisa diperuntukkan bagi pasangan suami istri juga. Kandungannya begitu bagus tentang hak dan kewajiban baik suami maupun istri, begitu pula bagaimana adab-adab memperlakukan pasangan dalam Islam.

Aku duduk di depan pria yang sebentar lagi akan menjadi mertuaku. Beliau terlihat menyimak dengan serius isi khutbah nikah, sementara aku menyimak dengan perasaan gelisah. Bukan hanya gugup akan melangsungkan pernikahan sebentar lagi, tapi karena kilasan kegagalan masa lalu terus membayangiku sejak semalam.

Kuhela napas berulang kali, berusaha menenangkan diri sendiri. Hingga kurasakan sebuah tepukan di bahuku dari belakang dan sebuah bisikan.

"Yang tenang. Everything is gonna be okay."

Tanpa melihat, aku tahu itu Fikri. Bahkan hanya melihat bahasa tubuhku dari belakang saja, dia bisa tahu kalau aku sedang gelisah. He really knows me well.

Tepat setelah bisikan Fikri itu, khutbah nikah berakhir. MC membacakan runtutan acara berikutnya, akad nikah.

Om Yassar menegakkan duduk, mengulurkan tangannya di atas meja yang langsung kusambut. Mikrofon di tangan Azzam yang didekatkan ke arah beliau tiba-tiba beliau jauhkan.

"Ibrahim, sebentar lagi tanggung jawab Sybilla sudah berpindah dari saya ke kamu. Tolong jaga dia sebaik mungkin, kalau bisa sebaik saya menjaganya. Jangan hanya mencintai kelebihannya, tapi terima juga kekurangannya," pesan Om Yassar dengan suara pelan karena memang hanya ditujukan kepadaku, tapi sarat penekanan kalau beliau menaruh harapan besar aku bisa melaksanakan pesannya.

"Insha Allah," jawabku tanpa ragu.

Mikrofon kembali didekatkan pada beliau. Seketika detak jantungku yang sejak tadi sudah berdetak cepat, makin blingsatan di dalam sana.

"Bismillahirrahmanirrahim... Ya Ibrahim Hakam bin Abdul Hakam, uzawwijuka 'ala ma amarollohu min imsakin bima'rufin au tasriihim bi ihsanin, ya Ibrahim Hakam bin Abdul Hakam, ankahtuka wa zawwaj-tuka makhthubataka Sybilla binti Yassar bi mahri khamsamiah alf rupiah haalan."

"Qobiltu nikaahahaa wa tazwiijahaa bil mahril madz-kuur haalan," ucapku dalam satu tarikan napas. Sybil memang meminta ijab qobul diucapkan dalam bahasa Arab.

"Barakallah," gumam orang-orang di sekitarku.

Doa pun dipanjatkan. Seusainya, aku menandatangani surat-surat yang disodorkan oleh petugas KUA. Sekarang status suami sudah kusandang. Lagi!

Setelahnya, aku menyalami Om Yassar yang sekarang sudah bisa kupanggil Abi. Aneh rasanya. Lalu kusalami Papa yang kemudian memelukku erat.

"Jaga pernikahanmu, Im. Sampai mati," bisik Papa, masih merangkulku.

Kuurai pelukan Papa, berganti menatapnya. "Insha Allah. Doain Baim ya, Pa."

Papa tersenyum lalu mengiringiku menuju tempat Sybil. Berbeda dengan pernikahan sebelumnya, dulu Sofia yang mendatangiku setelah akad. Kali ini aku yang mendatangi Sybil, karena memang tempat untuk tamu laki-laki dan perempuan terpisah. Akad nikah dilakukan di bagian samping gedung, sedang tamu perempuan ditempatkan di dalam gedung.

Begitu sampai di depan pintu masuk gedung, Mama dan Intan menyambutku. Mereka memberi pelukan bergantian sambil mengucap selamat dan memberi doa. Lalu mengiringiku ke tempat dimana Sybil sudah menunggu.

Sybil menggunakan gaun pengantin berwarna putih, tetap tertutup jilbab, lengkap dengan crown di kepalanya. Cantik. Sangat.

Dia tersenyum malu-malu begitu aku berdiri di depannya. Aku hanya bisa tersenyum gemas, menunggu semua prosesi pernikahan ini selesai. Sesuai instruksi dari ibu mertuaku, Umma Sybil, aku mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Sybil.

3 RASAWhere stories live. Discover now