3. Darah & Detergen

11.9K 1.5K 57
                                    

Celoisa mengambil sekotak susu UHT rasa cokelat dari tas tangannya. Ia merasa badannya berubah jadi agar-agar dan berpikir kalau-kalau semua tulang menyerah untuk menopang tubuhnya. Disedotnya susu itu lamat-lamat. Mungkin saja, susu ini bisa menguatkan tulangnya yang manja. Padahal, ia sudah minum segelas susu stoberi dan sarapan nasi goreng tadi pagi.

Namanya juga hidup berdua. Celoisa membatin. Bola mata bergerak ke pojok kiri layar komputer, melihat jam digital yang menunjukkan pukul sepuluh pagi. Matanya masih terpaku pada layar dan telinga masih menikmati One Woman One Man dari Magic! Jangan tanya mengapa ia tiba-tiba menjadi pendengar Magic akhir-akhir ini. Deas cuma tertawa waktu mendengar ia ngomel-ngomel karena ingin terus-terusan mendengar suara vokalis yang berambut agak keriting itu. Celoisa kan pernah mengutuki band itu habis-habisan saat Rude di putar di seantero negeri.

Tiba-tiba punggung Celoisa menegang. Ada perasaan aneh seperti yang biasa ia rasakan ketika akan datang bulan dan tidak memakai pantyliner. Terasa... lembap. Celoisa memejamkan matanya dan meletakkan kotak susu yang masih bersisa.

Celoisa berdiri dan berjalan perlahan menuju toilet. Rasa lemasnya mulai berkurang tetapi kecemasanlah yang kini menyelimuti pikirannya. Ia tersenyum kepada Utari yang baru keluar dari toilet sebelum bergegas masuk.

Merah kecoklatan

Dan tulang-tulang penyangga tubuh Celoisa kembali lunglai. Tangannya gemetar, dan ia jatuhkan tubuhnya di atas kloset, menyandarkan punggung ke dinding sambil mengatur napasnya. Menenangkan diri dan segala deru-deru di dadanya. Ia merasa bahwa dirinya harus tenang menghadapi noda tak diharapkan itu. Perlahan ia mulai merasa tenang, semuanya terasa ringan. Kantuk mulai menyerang, bahkan matanya mulai begitu berat. Celoisa sudah bersiap ke alam mimpi ketika telinganya mendengar ketukan pintu dari luar. Ketukan yang menyelamatkannya dari kabar 'Seorang Desainer Interior Mengidam Tidur di Toilet Kantor'.

Celoisa membuka pintu, mendapati Lula, sahabatnya sejak kuliah yang juga bekerja di tempat yang sama. Melihat Lula yang berdiri di depannya, refleks Celoisa memeluknya.

"Kenapa Cel? Morning sickness? Habis muntah-muntah?"

Celoisa melepas pelukannya dan menggeleng perlahan. Lula tampak mengerutkan keningnya.

"Lalu?"

Celoisa menggigit bibir bawahnya sebelum berkata,"Ada darah, Lul."

***

Cerita dari Lula kemarin agak membuat Celoisa tenang. Pasalnya, Lula juga pernah mengalami hal serupa. Lula memaksa Celoisa untuk ke dokter sepulang dari kantor yang hanya ditanggapi dengan anggukan. Celoisa merasa mungkin ia memang sedikit kelelahan dan semua bisa terobati dengan tidur yang cukup dan makan yang banyak.

Pulang dari kantor kemarin, Celoisa memangku semangkuk cumi goreng sambil menonton tv. Juga menonton Deas yang sedang menilai hasil kerja mahasiswanya. Gambar-gambar garis, lengkung yang sering disebut nirmana itu memusingkan kepala Celoisa. Zaman jadi mahasiswa, Celoisa benci sekali dengan nirmana. Ia tidak mengerti bagaimana cara Deas menilai. Mungkin saja, semakin banyak garis semakin baik. Atau jika lengkungan itu semakin seksi maka nilai makin tinggi.

Kemarin sore, ia tidak menemukan flek itu lagi. Begitu pula tadi pagi. Napas lega ia embuskan. Tetapi, apa yang baru saja Deas katakan membuat jantungnya memburu.

"Ada noda kecokelatan di celana kamu," ulang Deas. "Kamu kenapa?"

Celoisa yang berdiri di depan kulkas bergeming sesaat sebelum menoleh dan memandang Deas. Lelaki itu duduk di kursi makan dan menatapnya dengan raut penuh kekhawatiran.

Ikan Kecil (Terbit 2 Desember 2019)Where stories live. Discover now