Rio melambaikan tangannnya, membuat senyum Tania mengembang, ia mengajak ketiga temannya untuk menghampiri Rio.
"Kalian duduk disini aja, di sana udah pada penuh." Kata Rio.
Rio tidak sendiri ada dua orang temannya juga yang duduk disana. Mereka menerima tawaran Rio, laki-laki itu juga mengenalkan teman-temannya satu persatu.
Rio, Febri, dan Kevin itu sekarang kelas XII. Meskipun mereka tidak seangkatan, tapi mereka cepat sekali akrab apalagi Febri dan Kevin itu sosok yang humoris tak jarang mereka melontarkan lelucon yang membuat semuanya tertawa.
*****
Devan keluar dari ruang OSIS, dia baru saja menyelesaikan rapat. Ia mengusap perutnya, lapar. Rapat barusan cukup menguras energinya, ditambah tadi pagi ia lupa sarapan. Ia melihat jam di pergelangan tangannya bel masuk sebentar lagi berbunyi, dan ia tidak akan sempat makan di kantin. Tanpa membuang waktu ia mengetikan sebuah pesan meminta temannya membelikan makanan untuknya, setidaknya perutnya tidak kosong.
Baru saja dia akan melanjutkan langkahnya, matanya menangkap sesuatu yang akhir-akhir ini mengganggu pikirannya. Ia tersenyum samar, merasa konyol sendiri. Bagaimana bisa ia memutuskan untuk mengawasi dari kejauhan ketimbang menghampiri.
Devan menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir pikiran yang sejak tadi memintanya menghampiri objek tersebut.
Setibanya di kelas, ia tidak mendapati seorang guru yang seharusnya mengajar disana.
Hal pertama yang ia lihat itu teman-temannya sedang duduk dibangku pojok entah sedang membicarakan apa. Sepertinya dia ketinggalan berita, sebenarnya Devan tidak perduli apa yang di bahas ketiga temannya.
"Mana titipan gue?" salah satu temannya menyerahkan sebungkus roti, yang langsung ia terima.
Devan duduk di bangkunya.
"Kemana aja sih pak ketu kayanya dari tadi sibuk bener?" Tanya Febri.
"Kayak gak tau aja Feb hobinya Devan kan pacaran sama laporan kegiatan OSIS" Jawab Rio santai.
"Kapan dapet pacarnya kalo setiap hari harus pacaran sama Laporan" Celetuk Kevin.
"Berisik lah kalian!" Ucap Devan.
Mereka bertiga saling pandang, dan setelahnya terbahak. Ya mereka memang sering menggoda Devan, karena di antara ketiganya hanya Devan yang terlihat cuek mengenai perempuan.
"Jangan lupa nanti pulang kita ada latihan futsal!" Katanya mengingatkan ketiga temannya.
*****
Langit terihat mendung pada saat bel pulang berbunyi. Nayla meraih ponselnya di kantong rok abu-abunya berniat menghubungi abangnya.
Sudah berkali-kali Nayla mencoba menghubungi abangnya, tapi tidak ada jawaban. Perasaannya mulai was-was, langit sudah semakin gelap semakin membuatnya khawatir, Nayla tidak takut hujan. Dia sangat suka hujan, tapi kembali lagi ketika kita menyukai sesuatu kita harus tau konsekuensinya.
Seperti Nayla yang menyukai hujan, dia tidak boleh melupakan fakta bahwa hujan turun pasti disertai petir meski tidak selalu. Tapi, petir bisa datang kapan saja.
Nayla menunggu di koridor, suasana sekolah yang sepi membuatnya sedikit takut. Rintik hujan muai turun, tubuh Nayla gemetar udara dingin dan sepi bukan hal yang baik untuk di padukan.
Jduarrrrrr...
"Kyaaaa... hiks... hiks" Nayla terduduk dan memeluk lututnya.
Nayla mendengar suara langkah seseorang, ia tidak berani mengangkat kepalanya, ia takut. Sangat takut lebih tepatnya.
Dirasanya ada seseorang yang mengusap punggungnya, detik itu juga Nayla langsung bangkit dan memeluk orang tersebut, dia terisak di dada bidang yang membuatnya merasa terlindungi. Sedangkan orang yang di peluk diam membeku mendapat pelukan tiba-tiba dari Nayla.
Nayla merasa asing dengan aroma yang ia hirup, wangi abangnya bukan seperti ini, dalam hati ia bertanya-tanya. Ada dua kemungkinan yang bisa terjadi, abangnya baru saja mengganti parfumenya atau... tidak-tidak ia tidak mungkin salah memeluk orang kan ia meminta abangnya untuk menjemput. Untuk mendapat jawabannya ia mengangkat kepalanya, saat itu ia melihat iris coklat yang beberapa hari ini berusaha ia hindari.
Nayla kaget sekaligus malu, mau di taruh dimana mukanya nanti.
"M... maaf kak." Kata Nayla melepas pelukannya sambil menundukan kepalanya, ia melupakan ketakutan yang beberapa saat lalu ia rasakan, saking malunya.
Devan diam bergeming sampai ada seseorang yang mengintupsi mereka.
"Nayla, kamu gapapa?" Tanya Vano panik, nafasnya tersenggal-senggal, sepertinya abangnya itu baru saja berlari.
Vano masih belum menyadari keberadaan Devan, ia melepas jaket yang kenakan dan memakaikannya di tubuh adiknya. Saat dia ingin berbalik membawa adiknya pulang dia baru menyadari kalau ada orang lain selain dirinya dan adiknya.
"Makasih banyak udah mau nemenin adik gue." Kata Vano menepuk bahu Devan pelan, sambil berjalan membawa Nayla pergi ke arah parkiran.
Devan masih terpaku melihat Nayla dan Vano yang semakin lama semakin tak terlihat dan hilang di tikungan menuju parkiran.
Devan membuangnafasnya kasar, kejadian barusan mengingatkannya kepada seseorang, seseorangyang berarti baginya.
YOU ARE READING
Secret Admirer (New Version)
Teen FictionSebelumnya Nayla tidak pernah berpikir akan merasakan cinta di masa putih abu-abu. Terlebih kepada dia, yang sudah mengerjai Nayla di hari pertamanya masuk sekolah baru. Sampai semuanya berubah, Nayla tidak bisa lagi mengendalikan perasaannya. Nayla...
Part 2
Start from the beginning
