MASA#1 : Kehidupan di kost-san pakde bulan.

2.3K 142 19
                                    

Sudut pandangku tentang mereka
Yang banyak tanya tanpa membaca
Katanya sekolah, tapi otaknya mana?
Tolong dirubah pola fikirnya

- Negara lucu, oleh Enau -





Sarayu pagi menerbangkan surai hitam tersebut, kepulan asap dengan aroma khas itu menyeruak masuk menusuk hidungnya. Rutinitas pagi seorang haekal chandika fajaratma, selepas shalat subuh kesiangannya tadi ia langsung menyeduh kopi hitam pesawat api favoritnya. Dengan secangkir kopi tersebut haekal berjalan menuju teras kost-san, dapat ia lihat pak-de bulan si pemilik kost-san tengah menjemur beberapa pakaian. Lelaki berkulit tan itu tersenyum, menatap sosok bersarung tanpa baju itu. 'Kulit dadanya ngetat banget anjay, sampe tulang keliatan.' Pikirnya yang mengingatkan ia pada sosok bapak.

Menaruh cangkir kopinya, lelaki itu berjalan menghampiri pak-de bulan. "Morning pak-de." Sapanya dengan senyuman cerah yang bahkan bisa menyaingi matahari itu, membuat lelaki yang berumur hampir berkepala enam itu menolehkan wajah ke-arahnya. "Morning-morning ndas mu, chan. Saya mah nda bisa basa enggres." Pria campuran solo-bandung itu mengeluarkan logatnya, membuat haekal sedikit terkekeh.

Haekal mengambil beberapa pakaian dari ember pak-de bulan, hendak membantu pria itu memeras dan menjemur pakaian.

"Kamu nda nyuci toh, chan?" sedikit informasi, pak-de bulan selalu memanggil haekal dengan sebutan chandi. Panggilan itu beliau ambil dari nama tengah haekal yaitu 'chandika' karena ia pikir, nama itu lebih bagus dari panggilannya sekarang. Padahal haekal pikir, namanya itu sedikit aneh menurutnya, candi. Kadang nama itu terdengar seperti, cindy ditelinga haekal. Cindy alias mantan kekasihnya saat SMP, alias cinta pertamanya, ya pokonya mah itu lah.

Mendengar pertanyaan yang dilemparkan untuknya, haekal menggeleng pelan. "Nggak pak-de, aku udah nyuci kemaren." Jawabnya seraya menjemur pakaian terakhir itu.

Pak-de bulan mengambil dua ember yang tadi berisikan baju basah. "Makasih ya, chan. Pak-de mau pulang dulu." Selepas mendapati haekal yang mengangguk, pria bersarung itu melangkah 'kan kaki menuju rumahnya yang tepat ada di samping kost-san.

Haekal kembali menuju teras, melanjutkan aktivitas nya yang tertunda. "Hmmm.. seger banget anjir" pujinya pada hangatnya air kopi hitam yang baru saja menyentuh tenggorokannya itu.

"Kopi dan haekal.." suara seseorang yang tak lain jerald itu membuat haekal sedikit mengalihkan atensinya pada lelaki di ambang pintu tersebut.

"Satu hal yang ga bisa di pisahkan." Lanjut jerald lantas terduduk di samping haekal. "Rokok dan jerald, satu hal yang ga bisa dipisahkan."

Jerald tertawa mendengar balasan yang di berikan haekal, laki-laki itu melanjutkan aktivitas menghisap lintiran tembakau itu, mengumpulkan nyawanya yang beberapa masih tertinggal di pulau kapuk. Keduanya sibuk melamun dalam pikiran masing-masing seraya menikmati udara pagi yang sedang di kontaminasi oleh kepulan asap rokok milik jerald, seakan melupakan kewajibannya yang sebentar lagi akan mulai dijalaninya.

"Pagi-pagi dah sambat, doyan amat ngurangin umur." Nazam yang baru saja keluar dengan handuknya menggelengkan kepala menatap jerald yang baru saja bangun tidur bukannya mandi atau sekedar membasuh wajah, malah memilih untuk sambat. "Miror apa, na."

"Ya gue juga perokok, tapi engga bangun tidur kuterus sambat kaya lo anjir"

Haekal mengangguk, menyetujui ucapan nazam. "Kita mah lebih doyan narkoba ya 'kan, na." Haekal mengangkat tangannya kearah nazam, mengajak pria itu ber-highfive.

MASA ; DreamWhere stories live. Discover now