"Fire?" Gadis itu mengangkat kembali teleponnya setelah merasa suara dengungan itu hilang.

"Apa aku mengagetkanmu?"

"Tidak..."

Suara helaan nafas lega terdengar sejurus kemudian. Namun, Sophia dengan kejam melanjutkan kata-kata tadi dengan "... tapi kau membuatku hampir tuli."

"Jahat seperti biasanya, Sea." Sophia bertaruh, gadis penggila senjata itu pasti sedang meringkuk dipojok ruangan dengan airmata bawangnya.

"Ada masalah apa sampai kau menelpon? Kurasa kita jarang saling kontak lewat ponsel..."

"Ada yang harus aku sampaikan padamu, tapi sepertinya kondisimu tidak memungkinkan mendengarnya-"

"Aku tak apa. Lanjutkan."

"Kau yakin?"

"Katakan atau kututup." Ancamnya.

"JANGAN!"

Jeda sebentar. Samar terdengar helaan nafas panjang tak rela

"Oke-oke baiklah."

"Kami memang sedang menghadapi masalah yang... cukup mengkhawatirkan memang."

Suara Fire terdengar jauh lebih serius sekarang. Memincingkan mata, gadis itu menunggu kawannya melanjutkan.

"Masalah apa?"

"Sir Hitachi Jiyūho dan Captain dari regu khusus CIA, Hitachi Kyuugo, telah menghilang."

Tunggu, apa?

"WHAT?!" Sophia bahkan lupa tenggorokannya terasa perih bak terbakar, kepalanya terasa hampir meledak ketika otaknya berhasil mengolah informasi.

Astaga, masalah apa lagi ini?!

~CNS~

Tom Bradley International Terminal, Los Angeles International Airport, California, USA. 12.50AM

Dua pria dengan jaket kulit hampir kembaran berjalan memasuki pesawat terbang dengan maskapai All Nippon Airways.

Melangkah masuk ke dalam badan pesawat mempesona para pramugari serta tiga perempat populasi wanita dalam burung besi tersebut (bukan niat mereka sebenarnya, tapi sudah lupakanlah.)

"Lama sekali rasanya kita tidak naik pesawat komersil~" Si jangkung memulai percakapan dengan nada antusias. Irisnya sedikit berbinar melihat keadaan pesawat yang ramai.

Tak kunjung mendapat jawaban, pemuda itu akhirnya kembali bersuara.

"Hey, kenapa kau tidak menjawab?" Ia mengerucutkan bibir, melirik si surai hitam kurang tinggi.

"Karena aku tak berminat." Disampingnya, pria agak kecil dengan perawakan Asia yang kental akhirnya berkomentar. Menyesap kopi kalengan miliknya khidmat, ia menikmati cita rasa kopi berjenis cappuchino itu di indra pengecapnya.

"Hei, kenapa kau marah?" Ia berkomentar, bingung pada sang kakak.

"Ck, orang gila macam apa yang berkata 'Pakai saja pesawat komersil' ketika seorang agen menanyakan saran transportasi untuk misi yang menyangkut kepentingan dua negara?!" Ia sedikit membentak, setengah tak mengerti apa yang ada di otak saudaranya itu.

"Memangnya itu salah?"

"For the God sake. Tidak sadarkah kau Kalau misi ini gagal, keributan antar negara sudah ada didepan mata?! Dan  kau adalah orang yang kutendang pertama kali ke penjara karena mendalangi semuanya Kyuugo!" Pria itu memijat keningnya stress.

"Ayolah. Kau terlalu paranoid! Aku tidak sebodoh itu!" Keluh Kyuugo.

Jiyūho hanya memutar mata, tak ingin memperpanjang masalah. Sedikit bersykur karena suara peringatan akan lepas landasnya pesawat berhasil meredam suara sang saudara.

Hening menyelimuti keduanya tak lama setelah si burung besi melayang di angkasa. Jiyūho tak masalah sebenarnya, malah ia menikmati keadaan ini.

"Apa kau mengkhawatirkannya?"

Pria berusia hampir kepala tiga itu menoleh, mempertemukan sepasang iris Azure dengan Lavender. Ia mengelap nafas dan melirik jendela. Melihat gumpalan kapas putih disekitar mereka.

"Kalau bukan karena ancaman itu, aku tidak akan pernah tinggalkan US." Ia menggeram, mengingat kejadian kemarin malam.

Flashback

Hujan mengguyur kota California dengan lebatnya kala jam menunjukkan pukul setengah dua malam. Seorang pria bersurai hitam dengan wajah setengah sangar nampak berjalan ke kasurnya dengan kantung mata menghitam mengenaskan.

Selama seminggu ini, laporan dan tugasnya entah bagaimana terasa jauh lebih banyak daripada biasanya. Membuat pria itu tak sempat tidur selama tiga malam dengan bantuan kopi, dan keadaanya pun sekarang lebih mirip dengan zombie.

Jiyūho menguap lelah.

Berjalan ke ranjangnya, ia meluruskan tubuhnya, mengambil ancang ancang memasuki dunia mimpi. Siapa tahu bisa bertemu sang coretpujaanhaticoret agen muda di seberang lautan.

Namun dewi fortuna sepertinya sedang tak memberkatinya kali ini, karena baru saja kelopak matanya akan menutupi iris sebening permata Azure itu, sebuah getaran dari meja disamping kasur.

Menahan jengkel setengah mati, ia mengangkat telepon itu.

"Who the fuck is this?" (T : Siapa ini?) Pria itu menggertak. Sudah jengkel dengan semua kesialan selama beberapa minggu belakangan.

"You don't remember me, Jiyūho?" (T : Kau tak ingat aku, Jiyūho?) Suara tenang mengalun dari seberang. Meskipun begitu, Jiyūho merasa ia telah mendengar gendang perang ketika suara itu terdengar.

"Golden." Ia mendesis dengan suara penuh kemarahan, "what the hell are you wan't?" (T : Apa yang kau inginkan?)

"Hanya menyapa setelah sekian lama. Bukankah itu bagus?"

Jiyūho mendecih.

"Setelah penghianatan yang kau lakukan? Terima kasih, aku tidak memerlukannya." Pria itu berkomentar sinis.

"Ternyata memang tak bisa ya..."

Sejenak suara hening. Kedua pria yang tersambung dalam gelombang telepon itu hanya diam, tak ada yang bersuara.

"Gold-"

"Jaga dia."

"Hah?" Menaikkan alisnya, tak paham.

"Jaga permatamu Jiyūho. Dengan kharisma yang ia punya, kau tak tau kapan ia akan hilang." Suara itu berdengung tegas.

"Ini nasehat?" Tanya

"Ini peringatan."

Tubuh Jiyūho menegang. Jantungnya mendadak berdetak tak terkontrol entah kenapa.

"Kami akan bermain dan mengambilnya segera."

Dengan itu, sambungan diputus.

And Flashback.

~TBC~

Aoi : MEPET AAAAH. SHIT

Kuro : Sudahlah pasrah. Terima kasih kepada para reader yang telah membaca. Maaf kami tak mampu menyelesaikan chap ini tepat waktu. Terima kasih dan selamat menikmati

SIGN : AUTH AOI & KURO

Code Name : Sea! [SLOW-UPDATE]Where stories live. Discover now