3 rasa - part 31

Mulai dari awal
                                    

Dia masih belum berhenti tertawa. "Suka kok," jawabnya di sela tawa.

"Bohong," tuduhku. "Mau gimana lagi, cuma itu yang memungkinkan. Mau buat romantic dinner juga ngga mungkin kamu mau kan?"

Dia kembali tertawa. Padahal menurutku tak ada yang lucu. Apa yang salah dari kata-kataku?

"Ngga perlu romantic dinner atau apapun itu. Kamu ngga perlu ngelakuin hal-hal kayak gitu," katanya, masih menyisakan senyuman geli di bibirnya.

Aku menghela napas, kesal sebenarnya. "Kamu ngga suka hal-hal sweet gitu ya? Biasanya cewek suka kan dapat sesuatu yang dianggap romantis gitu."

"Suka kok, cuma aneh aja. Aku ngga pernah dapat kayak beginian jadi ya aneh," jawabnya kelewat jujur.

Kali ini aku tersenyum kecut. "Kamu aneh," ujarku tapi dia sama sekali tidak terlihat tersinggung kubilang aneh. "Terus jawabannya?" lanjutku.

"Harus ya dijawab? Kan tadi malam udah aku kasi jawaban, Im," protesnya.

"Itu jawaban dari orang tua kamu. Kan kamu belum kasi jawaban apapun," dalihku.

"Udah kan aku kasi jawaban waktu di rumah sakit," kilahnya lagi.

Aku menggeleng tak mau menyerah. "Waktu itu aku nanya boleh ngga dekat sama kamu. Kamu jawab boleh. Aku belum pernah nanya kamu mau ngga nikah sama aku. Jadi jawab aja, susah banget kayaknya."

Dia menghela napas. "Iya aku mau," ujarnya kaku. "Udah kan. Sekarang bahas yang lain aja."

Aku hanya menatapnya. Sama sekali tak tersenyum mendengar jawaban Sybil. Kenapa ada kesan terpaksa? Membuatku merasa seperti kembali ke masa saat aku bersama Sofia. Tak ada jawaban saat aku bilang cinta. Tidak terkesan dengan hal manis yang kulakukan. Lebih parahnya, terkesan enggan ketika membicarakan soal hubungan kami.

"Kamu kesini cuma mau ngasi ini aja?" pertanyaan Sybil membuyarkan dugaan-dugaan burukku.

Apa kali ini hubungan ini akan berhasil? Itu yang ada di benakku sekarang.

Aku menghela napas panjang. "Ngga. Aku mau ketemu kamu. Duduk sini," pintaku seraya menepuk bagian kosong pada bangku yang kududuki saat ini. Tepat di sebelahku.

"Hmm, aku berdiri aja deh. Ngga apa-apa kok," tolaknya berusaha sehalus mungkin.

"Ngga enak, Bil. Masa aku duduk, kamu berdiri. Ayo duduk." Kali ini aku memaksa.

Dia masih bergeming, seolah berpikir. "Tapi kamu geser ke pojok dulu," pintanya.

Aku tersenyum kecut lalu menggelengkan kepala tapi pada akhirnya menggeser tubuhku juga hingga ke ujung bangku. "Ngga sekalian aku duduk di bawah aja?" sindirku.

Dia hanya meringis jengah lalu duduk di pojok kursi di sisi lainnya. Hanya diam, memangku kotak kue pemberianku tadi.

"Nanti aku mau ke Surabaya." Aku membuka suara karena Sybil hanya diam.

Sybil menoleh padaku. "Kan besok kerja," katanya dengan heran.

"Iya kalo nunggu weekend kelamaan. Lebih bagus kalo weekend nanti bisa ajak Papa dan Mama ke rumah kamu," timpalku. Sybil hanya mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa menanggapi apa-apa.

"Kenapa Mama kamu tiba-tiba berubah pikiran?" kutanyakan pertanyaan yang sejak kemarin berputar di kepalaku. Apa alasan sebenarnya? Aku penasaran.

Sybil mengedikkan bahu. "Ngga tahu. Aku tanya tapi Umma bilang ngga perlu tau alasannya cukup dapat jawabannya. Udah cuma ngomong gitu aja."

Aku meringis mendengar jawaban Sybil. "Kok kayaknya Mama kamu lebih serem dari Abi kamu ya. Seperti apa sih orangnya?"

3 RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang