^2^

431 124 67
                                        

°°°

Aku mulai berlari kecil menuju rumahku, dulu. Mendapati ibu tetap pada tempatnya, masih sama sejak aku berpamitan meninggalkannya sebentar menuju tempat yang sebelumnya aku kunjungi. Tatapannya terlihat kosong, dan aku segera menghampirinya.

"Ibu, maaf telah membuatmu menunggu," ucapku pada ibu yang terlihat sedikit terkejut menyadari kehadiranku.

Ibu menampakkan wajah tenangnya dengan berdiri menopangkan tubuhnya pada dinding rumahku dulu, melipat kedua tangannya di depan dada, sementara matanya menatap nanar pada halaman sekitar yang sangatlah kumuh.

"Tidak apa. Ibu tidak terlalu menunggu. Membayangkan betapa bahagianya kehidupanmu dahulu di sini, cukup membuat ibu sibuk dari sekedar menunggu," seperti biasa, ibu menjawab segalanya dengan mudah. Tersenyum dan mengatakannya ringan. Seolah tidak ingin membuatku merasa bersalah atas apa yang aku lakukan padanya.

"Tentu saja, aku bahagia dimanapun."

"Ibu selalu berharap begitu. Bagaimana? Apa kamu masih ingin tinggal?" tanya ibu sembari menoleh pada langit yang mulai menampakkan kegelapan. Sedangkan di rumah ini tidak ada penerangan sama sekali.

"Tidak. Aku sudah selesai. Mari jika ibu ingin segera pulang. Tampaknya langit akan menjadi malam." Tanganku meraih tangan ibu. Sedikit memapahnya yang sebenarnya masih mampu berjalan sendiri.

"Maafkan ibu, Min Seok," ucap ibu tiba-tiba.

"Apa maksud ibu?" Aku benar-benar tidak mengerti untuk apa ibu meminta maaf.

"Setelah kematian mamamu, ibu segera saja membawamu pergi, tanpa peduli adanya barang serta kenangan berhargamu di sini. Ibu terlalu kalut atas permintaan mamamu. Takut jika ibu memberimu waktu di sini, kamu tidak akan dapat pergi bersama ibu sesuai dengan yang mamamu harapkan." Kepala ibu tertunduk, dan aku justru mendongakkan kepala.

"Tidak benar jika ibu menyalahkan diri ibu sendiri. Aku justru sangat berterimakasih pada kehidupan yang telah ibu berikan. Lagipula, aku sendiri pun juga lupa bahwa aku memiliki kenangan dan hal yang berharga di sini. Dan baru mengajak ibu mengunjungi rumah ini seminggu yang lalu."

Tanganku tetap terpaut dengan tangan ibu. Mengibaskan keduanya pelan terasa berat karena tangan ibu yang mulai renta.

"Terimakasih pula, memberi kesempatan pada ibu untuk merawatmu, atau bahkan menjadi bagian dari hidupmu."

Percakapanku dengan ibu berakhir, saat aku dan ibu memutuskan segera memasuki mobil. Mengencangkan sabuk pengaman dan aku mulai berkonsentrasi pada roda kendali yang aku kemudikan. Sedangkan ibu, menikmati posisi duduknya menatap jalanan yang dilalui.

Pikiranku melayang kembali. Betapa mudahnya bagiku mengingat jalanan Gangnam Raya, distrik padat milik kota Seoul, Korea Selatan yang bahkan telah aku lupakan selama dua belas tahun ini. Awalnya pun sulit melalui lika-liku serta naik turunnya jalan yang sebernarnya membawaku pada masa-masa indahku dulu, mungkin itu alasannya. Semua yang sulit akan berakhir indah sekalipun itu hanya kenangan.

"Min Seok, boleh ibu melihat tas ini?" ibu membuyarkan lamunanku mengenai jalan yang sebenarnya pun tidak penting.

"Tentu saja ibu, hanya sekedar melihat apa salahnya."

Ibu meraih tas yang aku letakkan pada bangku mobil belakang. Memangkunya dan membukanya perlahan, kemudian melihat satu per satu foto yang sebenarnya hanya berisi tiga foto yang salah satunya belum aku lihat bagaimana hasilnya.

"Mamamu begitu cantik ya. Pantas jika putranya sangat tampan pula."

"Ibu tidak perlu menggodaku. Sejak dulu aku selalu ditimang sebagai putra yang tampan." Aku menyombonggkan diriku, mendongakkan kepala dan menaikkan alisku.

POLAROID (Kim Min Seok)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang