"Sepertinya bukan," Sophia mengeluarkan salah satu surat,

"Coba kau lihat ini."

Mizutani membacanya, sejurus kemudian sebuah serigai muncul kepermukaan, disusul tawa pelan yang terdengar agak psikotik.

"Luar biasa! Aku tarik kembali kata-kataku saat itu, kasus Manatsuto Nakazae ini benar benar menarik!" Komentarnya, menyerahkan kembali surat itu kepada si surai biru keunguan.

"Apa kau sudah punya hipotesis?" Tanya Sophia, menyimpan kembali surat itu kedalam kantong jaketnya, Mizutani mengangguk percaya diri.

"Sebenarnya aku tadinya berfikir hilangnya Manatsuto Nakazae hanya sebagai pemecah perhatian, dan Miyaji Yuuya adalah korban utama. Tapi dari surat tadi, jelas sekali Yuuya-san hanya dimanfaatkan."

Sophia dapat mengerti hal itu. Toh ia juga berfikir hal yang sama.

"Gadis ini secara jelas adalah penghubung keduannya. Ia ingin melindungi Manatsuto dari orangtuanya, kemudian mulai berhubungan dengan Yuuya-san, seolah mereka kenal sejak lama."

"Benar. Tapi kenapa ia memilih Yuuya-san sebagai pengganti? Kenapa tidak sesama murid Yosen?" Sophia menaruh tangan di bawah dagu, sikut bertumpu pada pegangan besi di sebelahnya.

"Aku tidak terlalu yakin, tapi ada kemungkinan karena mereka pernah kenal dan si gadis sadar Yuuya-san menyukainya. Ia kemudian menggunakan perasaan itu sebagai keuntungan dan memasang Yuuya-san sebagai tameng."

"Memainkan perasaan seperti itu. Betapa terlatihnya..." Sophia menutup mata lelah, tak habis pikir bagaimana cara kejam ini bisa tetap eksis di dunia.

"Kau tau kan, cara membunuh orang itu mudah. Tak perlu kau tikam ataupun kau tembak di dada, cukup buat hati dan batinnya hancur dan dia akan benar-benar mati." Mizutani membalas, melirik sang Masayoshi.

"Kita yang seperti ini adalah hasil dari metode itu, bukan?"

Oh, Sophia tak bisa lebih setuju lagi dengan komentar terakhir.

~CNS~

Mizutani's PoV.

Aku bisa melihatnya. Meski dalam ruangan yang gelap dengan lampu bersinar kekuningan.

"Hentikan! Tolong hentikan!"

Sosok kecil itu tak lain adalah diriku yang dulu. Membelah keheningan malam dengan jeritan melengking dalam tangisan ketika melihat satu persatu kawannya dibantai oleh para penjaga.

Aku tak mampu berkata apa-apa. Hanya bisa menjerit dan mengeluarkan tangan dibalik jeruji besi yang dingin kepada salah satu anak yang kukenal. Berharap dapat meraih salah satu dari tangan kawanku disana.

"Mi-mizu..."

Anak itu mengulurkan tangannya pula. Tersenyum seolah berkata semua baik-baik saja meski kenyataan berkata sebaliknya.

Sebuah tongkat yang telah dipanaskan di tungku dihujamkan dengan keji ke kakinya. Aku membuang wajah, tak mampu melihatnya.

"SIAPA YANG MENYURUHMU MELIHAT KESANA HAH?! DASAR TAK BERGUNA!" Pria satunya menginjak tangan kecilnya. Sebuah pistol hitam diarahkan ke dada dari sisi belakang.

Si pemilik surau hitam kecil itu kembali menjerit dan menangis. Sebuah tangisan yang kuasumsian sebagai ketakutan akan ajal yang sudah ada di depan mata.

"RUKITOOO!"

Satu tembakan terdengar, bersamaan dengan berhentinya jeritan anak malang itu. Aku mengepalkan tangan, sementara versi kecilku hanya mampu jatuh berlutut dan membeku ditempat. Air matanya kini lebih mirip air terjun tanpa akhir.

Darah segar menggenang. Perlahan mengalir kearah jeruji dan mengotori celana lusuh yang dulu kupakai. Rasa pedihpun masih terasa sampai sekarang ketika aku gagal melindungi mereka semua.

Satu tarikan di rambut membuatku terpaksa mengadah, menatap pedih kepada seorang pria paruh baya dengan jaket bertudung dibelakangku.

"Kau sudah lihat apa yang terjadi kalau kau berbuat kesalahan, bukan?"

Aku versi kecil mengangguk kaku. Masih sangat syok dengan kejadian barusan.

"Kalau begitu, lakukanlah dengan benar, kau tau bukan? Dunia ini tak perlu orang tak berguna." Suaranya begitu rendah, dingin dan berbahaya. Ia bahkan bisa melihat siluet iris biru bagai lautan yang dalam dibalik tudung itu.

"Jika kau berani kabur lagi, kupastikan kau takkan pernah melihat adikmu lagi."

End Mizutani's Dream.

Aku bisa merasakan pukulan telak di kepalaku. Sukses ditendang dari alam mimpi, aku menatap pelaku yang menatapku setengah bengis.

"Ada apa, Masayoshi-san?" Tanyaku, mengecek mata.

BLETAK

Satu pukulan kembali mendarat di kening, rasanya agak lebih sakit dari sebelumnya.

"Apanya yang 'ada apa'?! Kau tidur setengah hampir dua jam dan mencengram tanganku! Mimpi apa kau sebenarnya?!"

Ia mengomel dengan nada jengkel. Dengan reflek aku melepas penganganku dari tangannya.

"Maaf."

Ia mengikuti kemana wajahku turun.

"Tidak usah dipikirkan. Yang penting, mereka sudah selesai. Ayo masuk." Ceramahnya sambil berdiri meninggalkan diriku.

"He-hei! Tunggu sebentar!" Akupun mengejarnya ke ruang rapat.

Meski begitu, ada sesuatu yang terasa mengganjal dalam diri Masayoshi-san. Kurasa ini hanya efek mimpi, tapi entah kenapa matanya begitu mirip dengan orang itu...

~TBC~

Aoi : YAY KELAR SATU CHAP BERTEBAR GARAM~

Kuro : Lagi?

Aoi : Udah lama tau gak bikin yang bergaram~

Kuro : Auth Sado.

Aoi : Hehehe. Pokoknya, makasih udah baca chan ini~ sampai bertemu di chap depan~

Sign : Auth Aoi & Kuro

Code Name : Sea! [SLOW-UPDATE]Where stories live. Discover now