3 rasa - part 28

Mulai dari awal
                                    

"Ooh... Terus mandi malam-malam dong?"

"Iyalah Bil, masa aku tidur dengan kondisi badan keringetan. Kan ngga enak. Kenapa memangnya?" Dia bukan hanya mau mengecek aku sudah mandi atau belum kan.

"Ngga apa-apa sih, cuma ngga kebayang dinginnya aja," jawabnya yang membuatku terkekeh. Dia benar-benar persis Sofia, anti dingin.

"Nanti kalo udah nikah ngga perlu takut dingin lagi, udah ada yang peluk," godaku dengan sengaja.

"Apaan sih, Im," protesnya yang makin membuatku tertawa.

"Kan aku bilang nanti Bil, bukan sekarang."

"Ya udah ngga usah diomongin juga. Risih dengernya." Dari nada bicaranya memang terdengar dia tidak nyaman dengan ucapanku tapi malah tidak menghentikan tawaku.

"Kamu lucu ya," cibirku di sela tawa. "Cuma ngomong aja udah risih. Kalo nanti praktek..."

"Baim!" serunya memotong ucapanku. "Bahas yang lain aja."

"Iya, iya." Aku tergelak geli. "Besok aku samperin ke tempat kerja ya?" Sejak batal menikah, Sybil sudah kembali bekerja di tempat praktek Bu Winda, itu yang kutahu darinya.

"Jangan," tolaknya cepat.

"Kenapa sih, Bil? Sebentar aja. Kamu ngga pengen ketemu aku?" tanyaku sedikit mendesak. Bertemu sebentar saja apa salahnya?

"Bukan gitu. Kan aku udah jelasin alasannya, Im." jawabnya.

Aku berdecak sedikit kesal. "Susah banget ya macarin cewek Arab."

"Ya udah cari cewek yang bisa kamu apelin sana. Jangan sama aku," balasnya tak terima.

"Kalo nanti orang tua kamu udah kasi ijin, aku boleh main kesana?" tanyaku lagi, mengabaikan perkataannya.

"Boleh," jawabnya mantap yang membuatku menghembuskan napas lega. "Tapi yang nemuin Abi atau Zack, bukan aku," lanjutnya.

"Sama aja bohong dong," keluhku yang membuat Sybil terkekeh geli. "Kamu ngerjain aku ya?"

Dia tidak langsung menjawab, masih menyelesaikan tawanya. "Nggalah, aku serius. Kamu kan minta ijin buat nikah sama aku bukan buat main kerumah, Im."

"Ya kalo udah diijinin buat nikah, masa main aja ngga boleh?" sanggahku belum puas. Siapa tahu setelah ini dia akan menjawab boleh.

"Ngga apa-apa main kerumah, ketemu aku yang ngga boleh."

"Ya udahlah, aku memang harus banyak sabar ya," timpalku pasrah. "Terus kapan aku bisa ketemu orang tua kamu?"

Sekarang malah aku yang tidak sabar ingin cepat dapat restu. Tidak bisa bertemu karena beda kota seperti saat aku berhubungan dengan Sofia dulu, itu wajar. Tapi kalau satu kota tak boleh bertemu itu namanya siksaan.

Sybil diam sejenak. "Ya... Nanti aku bilang sama Abi," jawabnya terdengar ragu. "Kok aku takut ya, Im."

"Takut kenapa?" Kemarin dia yang menantangku. Kenapa sekarang dia malah takut?

"Kalo Abi ngga setuju gimana?"

"Karena aku duda?" tebakku to the point tanpa memperhalus istilah duda dengan sudah pernah menikah.

"Itu salah satunya," jawabnya jujur.

Salah satunya? Berarti ada alasan lain kan?

"Alasan lainnya?"

Dia tidak menjawab.

"Bil," panggilku karena dia masih diam.

"Karena kamu bukan orang Arab," jawabnya pelan tapi berhasil membuatku tersentak. Kukira halangan terbesar yang akan kuhadapi adalah masalah statusku, ternyata ada masalah yang lebih besar yang sama sekali tidak terpikirkan sebelumnya.

3 RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang