Prolog

3.1K 203 73
                                    


Langit mengembuskan napas beratnya sebelum menekan slot pintu itu. Saat pintu terbuka, saat itulah bau obat-obatan menyeruak. Menelusup masuk ke dalam hidungnya.

Ini adalah kali ke-366 ia mengunjungi ruangan titu. Meskipun yang didatangi tak kunjung menyapa atau sekadar menyambut, ia tetap melangkahkan kakinya. Berharap, kalau ini adalah waktu yang tepat. Berharap, kalau keajaiban akan datang. Banyak sekali yang diharapkan oleh lelaki itu, sehingga ia tak bisa menghitung lagi, berapa banyak harapan yang ia inginkan.

Wajah Langit masih sedikit basah oleh air wudhu. Wajahnya yang putih itu semakin bersinar. Ia menatap lekat perempuan yang berbaring di hadapannya. Lalu menunduk dengan perlahan.

Sampai kapan?

Langit menarik kursi di samping ranjang pasien. Ia sedikit menunduk. Tak kuasa melihat perempuan yang berbaring itu, seperti menahan nyeri yang teramat sangat.

Tangan kekar lelaki itu segera merogoh tasnya dan mengambil sebuah Al-Qur'an berukuran kecil. Ia tersenyum saat memegang Qur'an itu.

"Fath, kamu mau aku membacakan surat apa? Surat Ar-Rahman? Atau Surat Al-Mulk? Jujur aja ya Fath, aku sebenarnya lebih suka Surat Ar-Rahman, tapi kamu sukanya Surat Al-Mulk. Jadi, aku harus bacain surat apa?" Langit masih menunduk. Sekali lagi, ia masih menunduk. Tak kuasa melihat perempuan yang berbaring di hadapannya.

Oh ya ampun, Fath. Semakin lama, aku semakin merasa sakit melihatmu seperti ini.

Tidak ada jawaban, perempuan itu koma. Tidak mungkin bisa menjawab pertanyaan dari Langit. Tanpa lagi menunggu, Langit segera membuka Al-Qur'annya dan mulai membacakan surat Ar-Rahman dan surat Al-Mulk.

Langit membacakan surat-surat tersebut dengan sangat merdu. Keheningan ruangan itu membuat suaranya terdengar sedikit menggema. Ruangan itu tak lagi sepi, terasa lebih hidup. Meskipun 'seorang perempuan'di sana mungkin sedang tidak merasa hidup.

Setelah selesai, Langit menyimpan lagi Al-Qur'annya di dalam tas. Sama seperti sebelum-sebelumnya. Setelah membaca Al-Qur'an di samping perempuan itu, matanya selalu berlinang air mata. Akan tetapi, ia menahan air mata itu supaya tidak keluar, sekadar menggenang.

Kali ini Langit merasa sangat tidak tahan lagi. Ia mendongak, menatap perempuan yang masih memejamkan matanya.

"Fath .... lo itu ya, pelanggar janji." Langit tak tahan untuk menahan air matanya. Ia berbicara dengan panggilan lo-gue, ia terlalu marah. "Fath ... kalau lo nggak tahan lagi dengan kehidupan di dunia. Kalau lo nggak sanggup lagi jalanin hidup. Di sini masih ada gue. Di sini masih ada gue yang bakalan jagain lo ... Fath apa lo nggak bosen buat gue menunggu? Fath sampai kapan? Sampai kapan?"

***

Langit Terlalu PagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang