Revan menghempaskan tubuhnya di atas sofa yang ada di dalam kamarnya. Dia menyalakan televisi yang kebetulan tengah menayangkan adzan magrib. Tanpa ada satupun keluarganya yang tahu dari kecil bila memang ada kesempatan Revan selalu mendengarkan adzan yang selalu ditayangkan di setiap stasiun televisi dan kebiasaan itu bertahan hingga sekarang. Lantunan adzan yang dia dengar selalu membuat dirinya merasa tenang.

Revan masih ingat, kapan kali pertama lantunan adzan itu mampu membuat hatinya merasa tenang. Saat itu umurnya masih tujuh tahun, Mama dan Papanya selalu bertengkar. Dia tidak tahu apa penyebab pertengkaran itu terjadi. Hingga akhirnya pada suatu sore disaat hujan turun dengan sangat deras, Mama dan Papanya bertengkar hebat, sampai-sampai Papanya berani melayangkan tangannya ke wajah Mamanya.

"Papa kok mukul Mama?" tentu sebagai anak, Revan tidak terima Mamanya dipukul oleh Papanya.

"Jangan ikut campur urusan orang tua, Revan. Masuk ke kamarmu!" Papanya membentak Revan dengan suara yang sangat lantang.

Revan menggeleng. Tangannya memeluk erat pinggang Mamanya.

"Papa bilang masuk! Apa kamu tidak punya telinga! Dasar anak haram!"

Anak haram?

Saat mendengar kata-kata itu Mamanya langsung mencaci-maki Papanya dengan kata-kata yang tidak kalah kasar.

"Revan anak kamu. Kenapa kamu berani-beraninya ngomong kalau Revan anak haram, huh!"

"Kamu tidak bisa membohongi aku lagi. Aku tahu kalau Revan adalah hasil dari perselingkuhan kamu sama Ferdi. Anakku cuma Anggara dan Ananta."

Revan tertegun. Meski dia baru tujuh tahun kala itu, dia mengerti apa arti dari kata-kata yang dikatakan oleh Papanya. Papa yang sangat dia sayangi dan hormati ternyata membencinya.

Pantas saja dia selalu merasa kalau Papanya pilih kasih padanya. Papanya selalu membelikan mainan baru untuk Anggara dan Ananta, namun Revan sendiri tidak pernah dibelikan mainan satupun oleh Papanya. Kalau dia bertanya kenapa Papa tidak memberikan mainan untuknya, Papanya selalu menjawab kalau dia bisa meminjam mainan milik Anggara. Awalnya Revan selalu protes pada Papanya, bagaimanapun dia juga ingin dibelikan mainan sendiri, namun saat dia protes Papanya malah selalu memarahinya dan selalu berkata, "Masih untung kamu masih saya ijinkan tinggal di sini," karena kata-kata itulah Revan jadi tidak pernah protes atau merajuk lagi pada Papanya.

Dia berusaha menjadi anak yang baik dengan harapan Papanya akan menyayanginya dan terbukti saat dia menjadi juara kelas Papanya akan memeluknya dan mengucapkan, "Kamu memang anak Papa," tentu kata-kata itu sangat berarti bagi Revan. Namun rasa kasih sayang yang diberikan Papanya hanya sementara saat Mamanya tidak pulang dan dia melakukan kesalahan dengan merusak mainan baru milik Kakaknya yang membuat Kakaknya cukup marah padanya, Papanya lebih marah lagi padanya tanpa belas kasihan Papanya memukulnya dengan ikat pinggang. Andai saja saat itu Ananta, Kakak perempuannya tidak berhambur memeluknya dia pasti akan terus dipecut dengan ikat pinggang Papanya yang terbuat dari kulit dan kejadian itu terus berulang, tanpa sepengetahuan Mamanya, Papanya selalu memukulinya bila dia melakulan kesalahan. Di saat rasa sakit yang selalu menyerang fisik dan hatinyalah secara tidak sengaja dia mendengar adzan yang saat itu tayang di televisi yang ada di kamarnya. Lantunan di setiap katanya membuat rasa sakit, takut dan sedih hilang menguap.

Revan memutus kenangan masa kecilnya saat pintu kamarnya diketuk. Dengan malas dia beranjak dari atas sofa.

"Ada apa?" tanyanya pada Ananta yang sudah terlihat rapi dengan dress berwarna hitam.

"Gue mau ke pesta ulang tahunnya Marcel. Lo mau ikut nggak?"

Revan menggeleng, "Nggak."

"Kalau gitu gue pinjem kunci mobil dong, mobil gue masih di bengkel."

Revan mengambil kunci mobil dari atas meja belajarnya, "Inikan emang mobil lo. Jadi kalau lo mau pake yah pake aja. Nggak usah minta ijin sama gue."

Ananta tertegun. Mobil yang dipake Revan sekarang memang mobil miliknya namun dia berikan pada Revan karena saat ulang tahunnya yang ke tujuh belas dia mendapat hadiah mobil baru dari Papanya.

"Lo nggak marahkan, mobil lo gue pake?"

"Kenapa mesti marah inikan mobil lo. Jadi pake aja," ucap Revan sebelum menutup kembali pintu kamarnya.

Revan tersenyum getir. Dia baru sadar kalau apa yang dia pakai semuanya bukan miliknya. Bahkan jam tangan yang dia pakai pun bukan miliknya namun milik Anggara.

"Ngapain lo sedih. Nggak ada gunanya?" ucap Revan pada pantulan dirinya sendiri di cermin. Dia mengambil bungkus rokok yang dia simpan di laci meja belajarnya.

※※※

Arlita mengabaikan panggilan telepon yang masuk dari Sri dan Nada. Dia masih kesal pada keduanya oleh karena itu dia tidak ingin bicara dengan mereka. Dia lebih memilih berkutat dengan rumus-rumus yang ada di buku catatannya.

"Andai ada Revan," gumam Arlita saat dia tidak dapat memecahkan soal yang ada di buku latihannya. Tak lama setelah menggumamkan itu ponselnya kembali berdering dan nama Revan tertera di layar ponselnya.

Arlita langsung mengangkatnya, karena sudah terbiasa mengucapkan salam hampir saja dia pun mengucapkan salam pada Revan, namun dengan cepat dia potong salamnya, "Ada apa, Van?"

"Lo udah nyampe rumah?" tanya Revan pada Arlita.

"Sudah dari tadi."

"Kenapa nggak ngabarin gue," suara Revan terdengar ketus. Membuat Arlita sedikit ngeri mendengarnya. Revan kalau sudah marah serem.

"Lupa."

"Gue nggak penting yah. Sampai lo lupain gue?"

Arlita mengernyitkan keningnya bingung. Kok Revan ngomong kaya gitu.

"Ng...nggak kok, Van," jawab Arlita cepat.

Tidak ada jawaban dari Revan. Yang Arlita dengar hanya helaan napas Revan.

"Van, kamu kenapa?" pertanyaan itulah yang akhirnya Arlita ajukan saat Revan tidak kunjung kembali bicara.

"Nggak... gue nggak kenapa-kenapa. Udah dulu yah. Eh iya jangan lupa payung yang gue pinjemin tadi sore balikkin, soalnya itu punya Kakak gue yang dia beli langsung dari Paris. Kalau hilang atau rusak gue nggak bisa gantiinya."

Arlita mendengar kata-kata Revan dengan dahi berkerut. Tidak menyangka kalau Revan sampai segitunya. Lagian juga pasti dia balikkin kok payungnya, "Iya besok aku balikkin. Yaudah. Malem Revan," ucap Arlita sebelum menutup teleponnya.

__________

Bogor, 24 Januari 2018

HUJAN | ENDWhere stories live. Discover now