Dua Hujan

27 2 1
                                    

Aroma tanah, tampias air yang sejuk, atau irama air yang tidak beraturan. Bagaimanapun, kau tahu dan aku juga tahu kalau kita sama-sama menyembunyikan sesuatu. Tidak perduli sekelabu apa langit sore ini, puisi itu masih sama.

*

Perempuan yang pagi-pagi sudah sok puitis.

Hai, dari sini hujan terlihat menyenangkan. Meski aku masih harus merasa terheran-heran, karena kebanyakan orang lebih memilih meringkuk hangat diranjangnya, padahal sama-sama kita tahu, hujan pagi adalah hujan yang paling.. paling.. dan paling indah. Ya, anggap saja itu menurutku; terlepas dari betapa repotnya para siswa berangkat sekolah, para karyawan berangkat kerja, kemacetan mengular karena hujan datang pagi-pagi, aku tidak perduli. Subuh tadi aku terjaga, dipanggil seruan untuk menghadap zat yang Maha Esa, gemeletuk air yang menimpa atap membuatku urung untuk terlelap.

Maka pelan-pelan aku melangkah keluar, melihat pagiku yang terbungkus abu-abu pekat. Aroma tanah menguar dari segala penjuru, angin berhembus dingin. Tetapi tetap saja pemandangan itu menjadi lebih menakjubkan jika kita menikmatinya dari lantai duapuluh rusun ini.

Aku ingin masuk kembali ke kamarku, karena hujan ini kurasa cukup. Tetapi diseberang sana sebuah pintu terbuka. Seseorang membawa secangkir entah yang mengepulkan uap, tatapan matanya tenang menatap hujan. Segera aku terpaku, untuk kemudian tersipu malu karena ia menangkap basah tatapan mataku. Kikuk, aku memutuskan untuk masuk ke dalam kamar. Dari sini, hujan masih terdengar merdu, dingin masih terasa syahdu. Dan saat aku menyibak tirai jendelaku, seseorang itu masih diseberang sana, harapan untuk berada disamping bahunya yang tegap segera kuenyahkan dan aku pergi.

*

Bujangan yang kurang mensyukuri nikmat Tuhan.

Hai, tidak ada yang lebih membosankan selain menunggu. Dan menunggu.

Saya menunggu, terbangun dari tidur panjang seperti biasanya, ingin segera pergi, namun diluar basah dan jutaan air itu turun tiada henti. Tidak tahu harus melakukan apa, jadi saya membuka laptop. Menonton ulang serial Detektif kesukaan, satu serial, dua serial, sampai saya merasa bosan dengan semua jalan cerita, hujan itu masih juga bertahan.

Butuh sesuatu yang hangat.

Sebenarnya, masih terlalu pagi, tapi semuanya tidak dapat dipungkiri, saya seharusnya sudah pergi. Pekerjaan menanti, tidak mudah menjadi pemuda yang bertahan hidup dikota besar seperti ini, maka nasib seperti saya gantungkan ditepi. Hidup dirusun padat, riang canda bocah berlarian, menyenangkan melihat mereka meski lusuh. Heboh mendengar ibu-ibu arisan, selalu saja seru karena disela arisan itu selalu ada gosip paling baru, yang entah apa.

Tetapi pagi ini hening. Hari dibungkus pekat, hitam, lusuh, bergemuruh. Tidak ada tanda-tanda kehidupan dimulai dilantai ini, semua pintu tertutup rapat, hanya sederet jemuran yang melambai kanan dan kiri tertiup hembusan angin yang cukup kencang. Saya membuka pintu, sambil membawa secangkir kopi hitam yang uapnya masih mengepul, hati-hati saya lindungi, takut kalau tampiasnya mengenai bibir kopi. Tapi... diseberang sana... saya menemukan sepasang mata yang ingin tahu untuk apa pemalas ini pagi-pagi seduh kopi.

Saya menatap sepasang mata itu kembali, atau mungkin saya memberanikan diri? Entahlah, tetapi wajah seteduh hujan itu justru berpaling dan menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Bermimpi untuk mengatakan, "Selamat pagi, apa harimu baik?" Saya singkirkan bersama air comberan yang berebut jatuh kebawah.

Ah, dasar hujan!

*

Perempuan yang suka berkhayal kalau ia sedang main FTV.

Aku seperti biasa, pulang dari restoran sore hari, biasanya matahari terlihat melemah dan senja menggurat indah. Tapi nyatanya ramalan cuaca hari ini benar, sepanjang hari hanya abu-abu, desau angin yang lebih beku, dan rintik-rintik hujan yang tiada henti. Nah, sore ini hujan malah deras seperti tadi pagi. Diseparuh jalan menuju rusun, hujan datang dengan gemuruh, menggeletar, lalu byar! Aku bahkan tidak sempat mengambil payung lipat ditasku ketika aku sadar kalau separuh tubuhku telah kuyup. Jadi, mau apa lagi?

Biru Muda (Kumcer)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon