Chapter 4

6.5K 352 29
                                    


"Masih ngambek?" tanyaku pada pemilik wajah yang mengerut lucu itu. Sudah sepekan ini ia terus bersikap dingin padaku. Bukannya tanpa alasan sih memang. Ini hanya karenaku yang sudah membohonginya untuk memeriksakan diri ke psikiater—Lara—dengan dalih pemeriksaan rutin biasa saja. Huft! Aku tahu cepat atau lambat hal yang sudah ketutup-tutupi ini pasti akan ketahuan.

Jangan bilang kalau aku sudah mengambil keputusan yang salah. Nggak, menurutku ini sudah yang paling tepat. Setidaknya dengan membohonginya, kejadian menegangkan yang sudah diprediksi Bayu—dan aku—bisa terhindarkan. Yah, walaupun imbasnya jadi bertukar menjadi "Iky yang mendiamiku sepanjang pekan terakhir ini". Sedikit menyebalkan.

"Ikyyy!" Aku pura-pura merengek saja, biar dia luluh. Siapa tahu saja, kan? Oke, aku tahu jika tindakanku ini konyol. Tapi, aku hampir tak tahan dengan suasana bodoh seperti ini. Raga berdampingan, tapi nggak satu pun interaksi di antara kami berdua terjalin. "Please, say something! Kamu mau sampai kapan diemin aku terus?"

Yes! Kemarikan wajah lucumu itu. Tatap aku—eh, bukan, bukan. Jangan berbalik ke sana. Ck! Sial! Iky malah masuk ke kamarnya demi menghindariku lagi. Sepertinya aku harus menyerah lagi untuk hari ini. Mereka bilang Iky hanya perlu waktu, tapi mau sampai kapan? Ini sudah sepekan dan nggak ada hal yang berarti di antara kami. Paling cuma aku yang menemaninya untuk pemeriksaan dengan Lara saja. Dan tambah menyebalkannya lagi, pada Lara dan juga orang lain dia akan bersikap manis. Sikapnya yang dingin itu hanya berlaku padaku saja. Sigh. Aku sepertinya sudah dilupakan.

"Udahlah, Ian," nasihat Bayu, suaranya terdengar di ruang depan. Hari ini entah mengapa dia memutuskan untuk mampir ke rumah. "Lo sih kebanyakan bohongnya. Kalau gue bilang sih, jujur lebih baik walaupun pedih. Eaaak!" tambahnya lagi, berseloroh padaku. Dasar orang gila! Semenit lalu, ketika menumpang mobilku, dia sok berlagak bagaikan motivator. Sekarang sudah berubah lagi? Manusia bunglon.

Namun jika dipikir lamat, omongan Bayu ada benarnya juga. Pasalnya kekesalan Iky meluap bukan karena fakta dia mengidap hiperseksual. Semasa dia menerima fakta itu, yang kudapat justru sebuah pertanyaan polos: "Dokter, memangnya tes kesehatan harus tes sampe itu-itu juga, ya?" Tentu saja, temanku itu langsung menangkap maksud Iky. Dan bukannya menjawab, Lara malah tertawa lebar dahulu. Akhirnya kebohonganku pun terbongkar.

Iky marah besar padaku.

"Kak Ian pembohong!"

"Eh?"

"Kenapa nggak bilang aja aku sakit ... apa itu namanya? Hiper-hiper ... aku lupa."

"Hiperseksual," koreksiku.

"Ya, itu. Pake acaranya ngebohongin aku buat tes kesehatan. Huh!" kesalnya, menggembungkan pipinya lucu. "Aku jadi diketawain sama dokter sama suster cowok itu juga. Kan malu!"

"Malu karena ketahuan mengidap hiperseksual sama dokter sama suster?"

"Bukan!" sangkalnya, diiringi dengan gestur tangan. "Aku malu karena dari tadi kupikir aku lagi tes kesehatan, tapi suster cowok itu tiba-tiba aja bilang mau melorotin celana aku. Terus aku ngejerit dan hampir mau kabur, aku pikir niatnya jahat. Pokoknya aku sebel sama Kak Ian." Iky memalingkan wajahnya, nggak ingin menatap aku.

Aku menghembuskan napas lesu. Aku coba untuk meraih kepalanya agar bisa kuelus, tapi betapa perihnya, Iky malah menghindar. "Ky, maafin aku karena udah bohongin kamu," pintaku, penuh kesungguhan. "Aku cuma nggak mau kamu begitu panik karena sindrom hiperseks itu. Aku takut kamu kecewa dan bahkan nyalahin diri sendiri. Aku bohongin kamu supaya kejadian seperti itu nggak terjadi, dan pengobatan bisa cepat dilakukan. Kamu ngerti, kan?"

Kutatap wajah itu sendu. Namun itu nggak seberapa lama sebab Iky berhasil memutuskannya. "Au, ah! Aku pokoknya marah Kak Ian bohong. Memangnya hiper-hiper itu penyakit apaan sih sampe Kak Ian harus ngebohongin aku buat berobat ke dokter?"

Brother Iky [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang